
Bab 6 -10
Undil
5/4/20259 min read
BAB 6
– Teman Pertama: Togar
Togar bukan anak asli desa ini. Dia datang dari Sumatera, ikut pamannya yang jadi guru olahraga di SMP sebelah. Posturnya besar, rambutnya kerap acak-acakan, dan kalau tertawa, bisa membuat seluruh ruang kelas menoleh.
Orang-orang sering bilang, aku dan dia seperti langit dan sumur. Aku diam, kurus, dan nyaris tak terdengar. Dia keras, terbuka, dan tanpa beban. Tapi justru di sanalah kami saling cocok—aku menyimpan semua yang tak bisa dia katakan, dan dia menyuarakan semua yang tak bisa aku ungkapkan.
Aku masih ingat pertemuan pertama kami, di awal tahun ajaran baru kelas X. Hari itu, dia duduk di sampingku karena tak ada kursi kosong lain. Dia melihat gambar-gambar di bukuku, lalu bilang, “Kamu orangnya sunyi, ya?”
Aku tak menjawab, hanya menatapnya sebentar. Tapi entah kenapa, dia tidak tersinggung. Malah tersenyum.
“Kita cocok. Aku juga capek ribut terus.”
Sejak itu, dia selalu duduk di sebelahku, ikut pulang bareng, dan kadang numpang makan di rumah nenekku kalau pamannya belum gajian. Dia tidak pernah menghakimi, tidak pernah menertawakan gambar-gambarku, bahkan ketika teman-teman lain menyebutnya “aneh” atau “nggak keren”.
Siang itu, setelah kejadian gambar Luna di mading, Togar menemaniku duduk di tangga belakang sekolah. Tempat itu sepi, hanya terdengar suara ayam dari halaman belakang dan radio butut dari kantin.
“Mar, kamu tuh harus belajar bilang ‘iya’ lebih tegas. Kalau suka, bilang. Kalau bangga, tunjukin,” katanya sambil mengunyah kerupuk.
“Aku enggak suka jadi pusat perhatian,” jawabku pelan.
“Kadang bukan soal kamu suka atau enggak, tapi soal kamu layak atau enggak,” katanya, menatap lurus ke depan. “Dan menurut gue, lo layak dilihat. Bukan cuma gambar lo. Lo juga.”
Aku menoleh, sedikit kaget. Biasanya dia bercanda. Tapi kali ini nadanya serius.
“Kenapa kamu baik banget sama aku, Gor?”
Dia nyengir. “Karena gue lebih takut kesepian daripada takut dianggap aneh.”
Kami tertawa. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, hatiku terasa ringan.
Kami kembali ke kelas beberapa menit sebelum bel masuk. Saat berjalan di lorong, Adit dan teman-temannya lewat dari arah berlawanan. Mereka berhenti sebentar, menatapku.
“Eh, seniman,” kata Adit sambil menepuk-nepuk pundakku dengan keras. “Gambarnya lumayan juga. Tapi jangan ganggu Luna, ya. Dia udah punya banyak penggemar.”
Togar langsung maju setengah langkah, tubuhnya menutupiku.
“Kalau cuma mau ngasih pujian, kasih aja. Nggak usah pakai ancaman,” katanya tenang.
Adit tertawa kecil, lalu pergi sambil melirik ke belakang. “Santai, gorila.”
Setelah mereka pergi, aku menarik napas panjang.
“Maaf, Gor. Aku bikin kamu ikut ribut.”
“Ribut gak apa-apa. Yang penting bukan kamu yang ngerasa salah.”
Aku menatap sahabatku itu. Tubuhnya besar, suaranya keras, tapi hatinya... seperti kakakku sendiri. Atau mungkin, seperti aku kalau aku berani jadi diriku sendiri.
Beberapa teman datang seperti angin: sebentar, menyapa, lalu hilang. Tapi Togar seperti batu di pinggir sungai. Diam, kokoh, kadang terlihat tak penting. Tapi tanpanya, aliran hidup bisa terasa terlalu deras untuk dihadapi sendiri.
BAB 7
– Musuh Tak Bernama
Adit adalah jenis orang yang ke mana pun dia melangkah, orang lain akan membuka jalan.
Dia tinggi, rambutnya disisir rapi, dan setiap pagi naik motor bebek yang baru dibeli ayahnya—berisik dan mencolok. Dia suka menggoda guru dengan gaya sok akrab, suka mencetak gol di pertandingan sepak bola, dan paling sering masuk daftar nama yang dibacakan saat apel pagi: siswa teladan bidang non-akademik.
Sementara aku? Paling dikenal karena selalu tepat waktu—dan tidak mengganggu.
Sejak gambar Luna terpajang di majalah dinding, sesuatu berubah di cara Adit memandangku. Bukan terang-terangan, tapi... menyelidik. Tatapannya seperti menakar, menilai apakah aku hanya bayangan di dinding, atau makhluk yang tak sengaja keluar dari balik tirai.
Hari itu, saat jam olahraga, kami satu tim dalam permainan bola voli. Guru olahraga kami absen, jadi semua berlangsung lebih bebas. Adit, seperti biasa, jadi kapten. Aku terpilih hanya karena jumlah pemain kurang satu.
"Lo di belakang aja, jangan bikin ribet," katanya tanpa menatapku.
Aku mengangguk. Aku memang tak pandai olahraga, dan Adit tahu itu. Tapi sore itu, entah kenapa, aku ingin menunjukkan sesuatu. Bukan kepada Adit, tapi kepada Luna yang duduk di tribun, memperhatikan dari kejauhan.
Bola datang ke arahku—melambung tinggi dan lambat. Aku melompat, memukul sekuat yang aku bisa. Bola melintasi net dan jatuh sempurna di dalam garis.
“Masuk!” teriak Togar dari pinggir lapangan.
Tapi Adit tidak bersorak. Dia hanya mendekat dan berkata pelan, “Hebat juga lo, pelukis.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi dingin. Aku pura-pura tak dengar, lalu kembali ke posisi semula. Tapi aku tahu, itu bukan pujian.
Di putaran berikutnya, Adit sengaja mengarahkan bola keras ke arahku. Aku mencoba menangkapnya, tapi tanganku terpeleset. Bola menghantam pipiku dan aku jatuh.
Suara tawa terdengar. Beberapa teman menyeringai. Tapi dari sudut mata, aku melihat Luna berdiri pelan dari duduknya. Wajahnya tampak khawatir.
Togar langsung berlari menghampiriku. “Lo nggak apa-apa, Mar?”
Aku mengangguk, meski pipiku terasa panas dan sedikit nyeri. Adit mendekat, pura-pura menyesal.
“Wah, sorry bro, enggak sengaja. Bola emang suka liar.”
Aku tahu itu bukan kecelakaan. Tapi aku tak menjawab. Aku berdiri dan keluar dari lapangan, berjalan ke arah musala kecil di samping gedung sekolah, menyiram wajah dengan air kran.
Sambil menatap bayanganku di kaca jendela kecil, aku bertanya-tanya: apakah ini harga dari jadi terlihat?
Dulu, tidak ada yang peduli siapa aku. Sekarang, satu gambar mengubah segalanya. Dan ternyata, ada orang-orang yang tidak suka perubahan.
Saat pulang, aku dan Togar jalan kaki melewati gang belakang sekolah. Dia masih marah.
“Gue tahu itu Adit sengaja. Lo harus hati-hati, Mar. Dia nggak suka kehilangan sorotan.”
Aku diam. Di dalam tas, buku gambarku masih tersimpan. Dan di dalamnya, aku menyimpan satu halaman kosong. Untuk menggambar hari ini. Untuk mencatat luka yang tak terlihat, tapi akan selalu kuingat.
Ada jenis musuh yang tak pernah berkata langsung. Tapi setiap tindakannya adalah pesan. Dan kadang, diam adalah satu-satunya cara menjawab—sampai tiba saatnya berbicara dengan cara lain.
BAB 8
– Rambut Panjang di Perpustakaan
Perpustakaan adalah satu-satunya tempat di sekolah ini yang tidak memaksa kami menjadi siapa-siapa.
Tidak ada suara teriak. Tidak ada motor berisik. Tidak ada deretan nilai yang digantungkan di papan pengumuman. Di ruangan itu, hanya ada suara kertas yang dibalik, langkah pelan, dan kadang bunyi jam dinding tua yang berdetak seperti hati orang sabar.
Aku sering ke sana sejak dulu, bahkan sebelum Luna datang. Tapi sejak kehadirannya, perpustakaan bukan lagi sekadar tempat pelarian. Ia jadi tempat pertemuan—bukan yang besar dan dramatis, tapi yang sederhana dan pelan.
Hari itu, setelah kejadian di lapangan voli kemarin, aku butuh tempat untuk diam. Dan seperti biasa, aku duduk di pojok dekat rak sastra, tempat di mana cahaya matahari masuk lewat jendela tinggi dan jatuh lurus ke meja kayu berdebu.
Aku sedang menggambar sebuah tangan yang menggenggam pena—sketsa dari tanganku sendiri, yang terasa lemah setelah bola voli kemarin. Tapi sebelum gambar itu selesai, seseorang menarik kursi di depanku.
Luna.
Rambutnya masih basah. Mungkin baru dari wudu. Dia duduk tanpa banyak bicara, hanya menatapku sebentar dan tersenyum.
“Kamu gak apa-apa?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk, pura-pura tak paham maksudnya.
“Tadi aku lihat kamu jatuh di lapangan.”
“Oh... itu. Enggak apa-apa.”
Dia mengangguk, walau wajahnya masih terlihat ragu. Lalu dia membuka bukunya. Bukan puisi kali ini, tapi novel klasik: Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
“Kamu suka baca itu?” tanyaku, akhirnya memberanikan diri.
Dia tersenyum. “Aku suka kalimat-kalimatnya. Tenang tapi tajam.”
Kami hening sebentar. Hening yang nyaman.
“Menurut kamu, orang yang suka menggambar dan orang yang suka membaca itu mirip gak?” tanyanya tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak. “Mungkin mirip. Sama-sama menyendiri. Sama-sama senang memperhatikan dunia dari jauh.”
Dia mengangguk pelan. “Sama-sama gak suka keramaian.”
Kami tertawa kecil. Lalu dia menyandarkan dagunya di atas buku. Dari sudut itu, cahaya menyorot rambut panjangnya yang tergerai di atas meja. Sehelai rambut jatuh ke halaman bukunya. Aku nyaris menggambarnya di kepala.
“Aku pernah dengar...” katanya lirih, “kalau orang yang menggambar dengan hati, bisa melihat sesuatu yang orang lain lewatkan.”
Aku menatapnya. “Apa maksudnya?”
Dia menoleh padaku. “Apa kamu bisa melihat orang yang sebenarnya dari wajahnya saja?”
Aku menahan napas.
Mungkin itu pertanyaan paling jujur yang pernah kudengar. Tapi aku tak tahu harus menjawab apa. Karena satu-satunya orang yang kulihat "lebih" saat ini... adalah dia.
Lalu dia menutup bukunya, berdiri, dan berkata, “Kalau suatu hari kamu mau, aku mau lihat gambar aku yang kamu simpan diam-diam.”
Aku tidak tahu bagaimana dia bisa tahu. Tapi mungkin, seperti aku yang mengamati diam-diam—dia juga punya cara membaca diamku.
Saat dia pergi, aku membuka halaman kosong, dan mulai menggambar sesuatu yang belum pernah aku coba: dua kursi kosong yang saling berhadapan, dengan cahaya pagi di antara keduanya. Simbol dari percakapan yang tak perlu banyak kata.
Kadang, orang yang paling kita suka bukan yang paling banyak bicara, tapi yang membuat kita merasa... tidak perlu pura-pura menjadi siapa-siapa. Dan aku merasa begitu setiap duduk di seberangnya, di perpustakaan tua itu.
BAB 9
– Surat Tanpa Nama
Hari itu, suara di sekolah terdengar berbeda. Bukan lebih gaduh, bukan pula lebih tenang—tapi seperti ada yang ditahan. Seperti ketika langit menahan hujan yang sudah menggumpal di dalam awan, tapi belum jatuh.
Aku duduk di bangkuku seperti biasa, membuka buku gambar, lalu menutupnya lagi. Sejak kejadian di perpustakaan, aku merasa ada sesuatu yang menggantung antara aku dan Luna. Bukan janji, bukan pula rahasia—hanya perasaan yang belum punya tempat untuk tinggal.
Saat istirahat pertama, Togar berlari masuk kelas dengan nafas ngos-ngosan. Dia membawa selembar kertas berwarna merah muda, dilipat rapi seperti amplop kecil.
“Gila, Mar. Kamu mesti lihat ini,” katanya sambil menyodorkan kertas itu.
Aku membuka perlahan. Di dalamnya, tulisan tangan yang halus, dengan tinta biru:
Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi aku tahu kamu melihatku seperti dunia kecil yang tak perlu dijelaskan. Terima kasih sudah menggambarku seolah aku punya makna. Aku bukan siapa-siapa. Tapi entah kenapa, kau membuatku merasa penting.
—Untukmu, yang menggambar dengan hati.
Tanganku sedikit gemetar saat melipat kembali surat itu. Aku menatap Togar, yang hanya menaikkan alis.
“Dari siapa?” tanyaku, suara nyaris tak terdengar.
“Gak tahu. Ada yang nemu di loker Luna, katanya bukan dari teman-teman dia. Terus langsung jadi bahan omongan satu sekolah. Mereka kira... mungkin dari kamu.”
Aku menelan ludah.
Bukan aku. Tapi... kata-katanya terasa seperti milikku.
Kata “melihat seperti dunia kecil yang tak perlu dijelaskan”—itu kalimat yang sangat aku pahami. Kalimat yang seperti berasal dari kepala dan hati yang sama denganku. Tapi aku tak pernah menulisnya.
Atau... apakah Luna sendiri yang menulisnya?
Sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang. Aku duduk di teras belakang ruang UKS, tempat sepi yang jarang dilewati siapa pun. Aku membuka kembali surat itu. Membacanya pelan-pelan, menghafalnya, mencoba menemukan nada suara di balik tiap kalimat.
Aku tahu bukan aku yang menulisnya. Tapi surat itu... seperti ucapan yang selama ini tertahan di dadaku.
Saat aku kembali ke parkiran sepeda, Luna berdiri di dekat pintu gerbang. Rambutnya dikepang hari ini, dan dia tampak sedang menunggu seseorang. Tapi saat melihatku, dia melangkah pelan mendekat.
“Kamu sudah dengar soal surat itu?” tanyanya langsung.
Aku mengangguk. “Togar yang kasih tahu.”
Dia menatapku. Matanya bening, tapi kali ini menyimpan sesuatu yang tak kukenal—seperti curiga, atau harap.
“Kamu yang tulis?”
Aku ingin bilang "tidak". Tapi kata itu terasa begitu berat. Karena di saat yang sama, aku ingin berkata “ya”. Ingin tahu seperti apa rasanya jika dia percaya bahwa akulah si penulis kata-kata indah itu.
Tapi aku memilih diam. Dan mungkin diamku itu—seperti gambar tanpa bingkai—cukup untuk membuat dia tersenyum kecil, lalu berkata:
“Kalau iya... terima kasih.”
Lalu dia pergi. Meninggalkanku dengan surat yang bukan kutulis, tapi terasa seperti milikku. Dan rasa bersalah yang tak bisa kutunjukkan.
Kadang, yang paling menyakitkan bukan dituduh atas sesuatu yang tidak kita lakukan—tapi menerima pujian atas sesuatu yang seharusnya bukan milik kita. Namun, saat yang kita cintai percaya... kita pun mulai percaya juga.
BAB 10
– Cemburu Dingin
Aku melihat mereka dari jauh. Bukan karena aku sengaja, tapi karena memang itulah caraku melihat dunia: dari kejauhan. Seperti mata burung yang mengamati pergerakan dedaunan, atau seperti air yang menonton api dari balik kaca.
Adit berdiri di samping Luna, membawa dua kotak nasi bungkus dari kantin. Dia menyodorkannya seperti pahlawan kecil di pagi yang mendung. Luna tertawa kecil, lalu menerima satu dengan senyum yang... tidak kutahu apakah hangat atau sekadar sopan.
Aku tidak mendengar percakapan mereka. Tapi aku bisa menebak: Adit sedang jadi dirinya yang paling menyenangkan—humoris, percaya diri, santai. Tipe cowok yang disukai banyak orang. Tipe yang tidak perlu menggambar wajah seseorang untuk bisa dekat dengannya.
Aku berdiri di sisi lorong, setengah bersembunyi di balik tiang, memegang buku gambarku yang terasa lebih berat dari biasanya. Togar berdiri di sampingku, menyender ke tembok.
“Gue gak suka ngeliat itu,” katanya, tanpa perlu dijelaskan apa maksudnya.
“Aku juga gak suka,” jawabku pelan.
Togar menoleh. “Terus kenapa kamu diam aja, Mar?”
Aku tidak menjawab. Karena kadang, diam adalah satu-satunya cara untuk tidak menghancurkan harapan yang bahkan belum sempat dibangun.
Siang itu, di kelas, aku mencoba menggambar ulang senyum Luna. Tapi tak ada yang cocok. Lengkungan bibirnya terlalu datar. Matanya terlalu jauh. Tidak ada kehangatan. Tidak ada cahaya.
Semua garis tampak seperti bohong.
Aku menghapus dan menggambar ulang, berulang kali. Tapi tetap saja, kertas itu makin kusut. Seperti pikiranku.
Togar menatapku lama. Lalu berkata, “Lo tahu gak, Mar? Lo itu jago ngeliat. Tapi kadang lo terlalu takut dilihat.”
Aku menoleh. “Kalau aku kelihatan, aku bisa hancur.”
“Kalau kamu gak kelihatan, kamu akan hilang.”
Kalimat itu membuatku diam lama. Sampai bel berbunyi, dan Luna lewat di depan kelasku. Kali ini bersama Adit. Bahu mereka nyaris bersentuhan.
Dia menoleh sebentar. Matanya bertemu mataku. Tapi tidak berhenti.
Dan aku tahu, hari itu... bukan aku yang ada di dekatnya.
Sore, aku duduk di saung tua di belakang rumah nenek, melihat langit yang mulai berwarna abu-abu. Aku membuka halaman terakhir buku gambarku—halaman yang selalu kusisakan untuk sesuatu yang penting.
Kali ini aku tidak menggambar Luna.
Aku menggambar diriku sendiri. Duduk di bangku belakang kelas. Sendirian. Memandang ke depan, tempat seorang gadis berdiri dengan wajah buram. Di belakangnya—seseorang lain, lebih tinggi, memegang tangannya.
Gambarku usai dengan satu coretan kecil di bawah: Milik siapa senyum itu sekarang?
Cemburu bukan selalu soal marah atau ingin merebut. Kadang cemburu adalah saat kamu tahu kamu tidak punya hak, tapi perasaanmu tetap memilih untuk tinggal. Dan rasa dinginnya... bisa lebih tajam dari apapun.

Inspiration
A haven for stories, art, and creativity.
© 2025. Undil - All rights reserved.