Bab 11 -15

Undil

5/3/20258 min read

BAB 11
– Festival Sekolah

Festival Sekolah adalah satu-satunya hari dalam setahun di mana SMA kami berubah bentuk. Tenda-tenda warna-warni berdiri di halaman. Ada bazar makanan, lomba voli antar kelas, lomba baca puisi, pertunjukan musik, dan—yang paling menarik perhatianku—pameran seni rupa.

Biasanya, aku hanya berjalan melewati stan itu. Mengamati lukisan dan kerajinan tangan teman-teman dari kelas seni, lalu pulang diam-diam. Tapi tahun ini berbeda.

Bu Mirna memintaku ikut.

“Kamu bisa ikut pameran gambar. Pilih dua atau tiga karya yang kamu rasa pantas dilihat orang,” katanya waktu itu, sambil menepuk bahuku dengan lembut.

Aku sempat ragu. Tapi Togar mendesak.

“Lo itu punya karya, Mar. Bukan cuma gambar. Biar orang tahu siapa lo sebenarnya.”

Dan untuk pertama kalinya, aku berkata, “Iya.”

Pagi festival itu, aku datang lebih awal. Memakai seragam batik sekolah yang kebesaran sedikit di pundak. Di tangan, aku membawa map besar berisi tiga gambar: Luna di Perpustakaan, Tangan yang Menggenggam Payung, dan satu yang paling baru: Sepasang Mata yang Tidak Menoleh.

Aku tidak menyebut nama siapa pun dalam gambar-gambar itu. Tapi mereka yang tahu, pasti mengerti.

Aku menata karya-karyaku di papan pameran stan kecil, di pojok paling ujung dari aula serba guna. Di antara gambar-gambar berwarna cerah dan kolase seni rupa kelas XII, gambar-gambarku tampak sepi dan pucat. Hitam-putih. Pensil halus. Tidak ada bingkai.

Tapi anehnya... itu justru membuat orang berhenti lebih lama.

Beberapa siswa bertanya siapa pembuatnya. Ada yang hanya berdiri diam lama di depan gambar Tangan yang Menggenggam Payung. Seorang guru matematika bahkan mengangguk-angguk kecil sambil berkata, “Kamu punya mata yang tajam.”

Togar berdiri di dekatku sambil menjaga stan. Dia membawa botol air dan mengusir anak-anak yang terlalu ramai.

“Ada yang nanya kamu, loh. Cewek-cewek kelas X. Lo jadi idola dadakan,” katanya sambil tertawa kecil.

Aku hanya tertunduk malu.

Tapi bukan mereka yang kutunggu.

Menjelang siang, Luna datang.

Dia mengenakan rok biru tua dan blus putih dengan pita kecil di dada. Rambutnya dikepang dua, dan dia membawa totebag berisi buku.

Aku melihatnya masuk aula, menoleh kiri-kanan, lalu berhenti di depan gambar Luna di Perpustakaan. Dia tidak berkata apa-apa. Tidak tersenyum. Hanya menatapnya lama.

Lalu dia mendekat padaku. Togar langsung menghilang, pura-pura beli es.

“Ini aku, ya?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk. “Kalau kamu merasa begitu.”

Dia tertawa kecil. “Kamu tahu... aku nggak tahu harus senang atau malu.”

“Kenapa?”

“Karena ini pertama kalinya aku merasa jadi bagian dari sesuatu yang diam-diam tumbuh.”

Aku menatapnya. Mataku ingin bicara, tapi seperti biasa, lidahku tertinggal jauh.

Dia memandangi gambar-gambar yang lain, lalu berbisik, “Terima kasih sudah menggambarkanku dengan begitu hati-hati. Seolah aku tidak akan pecah.”

Lalu dia pergi, seperti angin yang membawa aroma bunga di pagi hari.

Di akhir acara, aku mendapat sertifikat peserta dan sebuah tepukan dari kepala sekolah. Tidak penting, sebenarnya. Tapi di dalam hati, aku merasa telah melewati satu gerbang kecil: gerbang di mana Damar yang lama... mulai terlihat.

Kadang, panggung tak perlu tinggi. Cukup papan kayu, sepasang mata yang memandang, dan satu langkah kecil dari hati yang biasanya sembunyi. Dan hari itu, aku merasa... diperhatikan.

BAB 12
– Pertama Kali Bicara

Aku tidak tahu bagaimana caranya berbicara pada Luna. Maksudku, benar-benar berbicara—bukan sekadar menjawab “iya” atau “nggak” saat dia bertanya. Selama ini aku lebih sering bicara lewat gambar, lewat pilihan sudut, cahaya, garis-garis pensil yang kubuat dengan pelan. Tapi hari itu, aku tahu aku harus bicara.

Bukan karena aku siap. Tapi karena semesta seperti memberi celah kecil.

Senin pagi, sekolah masih hangat oleh sisa-sisa festival. Spanduk belum dilepas. Coretan cat di aula belum dibersihkan. Dan mading sekolah menempelkan foto-foto kegiatan—salah satunya adalah potretku di depan stan gambar, berdiri canggung dengan map di tangan.

Togar menyenggolku. “Luna tadi lewat depan kelas. Nanyain kamu.”

Aku menoleh. “Ngapain?”

“Gak tahu. Tapi mukanya... beda.”

Aku tak sempat bertanya lebih lanjut karena bel berbunyi. Tapi saat istirahat, aku memberanikan diri berjalan ke arah perpustakaan. Entah kenapa, kakiku bergerak sendiri. Dan saat aku mendekati tangga menuju pintu, Luna muncul dari arah berlawanan.

Kita berpapasan. Lalu berhenti.

Dia tersenyum. “Kamu ke atas?”

Aku mengangguk. “Iya... mau cari buku.”

Dia menatapku sebentar, lalu berkata, “Temenin aku, ya?”

Dan begitulah aku menemukan diriku duduk di salah satu meja kayu tua di pojok perpustakaan, berdua dengannya. Tak ada gambar kali ini. Tak ada buku di tanganku. Hanya jantung yang berdetak terlalu keras, dan udara yang terasa tipis.

“Aku penasaran,” katanya pelan. “Sejak kapan kamu suka menggambar orang?”

Aku berpikir sejenak. “Sejak kecil. Tapi... mulai menggambar orang, ya... sejak aku mulai memperhatikan mereka.”

“Memperhatikan?”

“Iya. Ada yang cuma kelihatan. Tapi ada juga yang kelihatan... dan terasa.”

Dia diam sebentar. Lalu bertanya, “Aku termasuk yang terasa?”

Aku ingin bilang, “Sejak pertama kali aku melihatmu dari balik pintu kelas.” Tapi mulutku hanya bisa menjawab:

“Iya.”

Dia mengangguk. Tidak malu. Tidak kaget. Hanya tenang.

“Kamu tahu nggak?” lanjutnya. “Aku juga suka memperhatikan orang. Tapi aku gak bisa gambar. Jadi aku simpan semuanya di kepala. Dan kadang... jadi kata-kata di buku harian.”

Aku menoleh. “Berarti kita sama?”

Dia tersenyum. “Mungkin.”

Kami diam lama setelah itu. Tapi diam kami bukan hampa. Justru penuh—penuh dengan kata-kata yang belum sempat diucap, penuh dengan jarak yang mulai menyempit perlahan.

Saat lonceng tanda istirahat usai berbunyi, dia berdiri dan berkata pelan:

“Kalau kamu masih menggambar, boleh aku lihat yang baru minggu depan?”

Aku mengangguk. “Boleh.”

Dia melangkah pergi. Tapi sebelum hilang di balik rak, dia sempat menoleh dan berkata:

“Dan kalau kamu mau... kamu juga boleh lihat kata-kata aku.”

Hari itu aku pulang tanpa naik sepeda. Aku menuntunnya, pelan, sambil memikirkan satu hal:

Mungkin aku tidak perlu menunggu semuanya sempurna untuk bicara. Kadang, yang diperlukan hanya keberanian untuk mulai. Dan satu orang yang mau mendengarkan.

Dulu aku pikir aku hanya bisa menyampaikan perasaanku lewat gambar. Tapi ternyata, kata-kata—walau terbata dan lambat—juga bisa menjadi jembatan. Asal yang di seberang... bersedia menunggu.

BAB 13
– Langit di Atas Lapangan Voli

Lapangan voli biasanya hanya ramai saat jam olahraga atau turnamen antar kelas. Di luar itu, ia jadi tempat paling sepi di sekolah. Hanya ada tiang net berdiri sendiri, garis kapur yang mulai pudar, dan rerumputan yang tumbuh pelan-pelan menelan batas permainan.

Sore itu, setelah pelajaran tambahan usai, aku tidak langsung pulang. Aku duduk di salah satu bangku beton di pinggir lapangan, membawa buku gambar dan pensil. Udara masih hangat, tapi angin sudah mulai turun dari bukit.

Aku menggambar langit.

Bukan dengan awan-awan detail atau matahari sempurna. Hanya langit kosong, dengan satu garis tipis di tengahnya—seolah langit sedang menunggu sesuatu untuk lewat.

Dan saat aku menoleh, Luna ada di sana.

Dia berdiri beberapa meter dariku, masih memakai seragam, rambutnya sedikit kusut ditiup angin. Dia menatapku, lalu tersenyum kecil.

“Boleh duduk?” tanyanya.

Aku mengangguk. Dia duduk di bangku yang sama, hanya berjarak beberapa jengkal dariku. Tidak terlalu dekat. Tidak terlalu jauh.

“Kamu suka tempat ini?” tanyanya.

“Kalau sepi, iya.”

“Aku juga. Tapi biasanya aku cuma lewat.”

Kami diam sebentar. Angin mengibaskan lembaran gambarku. Luna menahannya dengan tangan pelan.

“Kamu gambar langit?”

Aku mengangguk. “Langit kelihatan kosong, tapi... banyak yang bisa disembunyikan di sana.”

Dia menatap gambar itu lama. “Aku sering berpikir... kalau aku bisa terbang, aku pengen lihat dunia dari atas.”

“Dan aku ingin menggambarmu di sana,” jawabku tanpa sadar.

Dia menoleh. Matanya membulat sedikit. Lalu... tertawa kecil. Bukan mengejek. Tapi seperti terkejut—senang.

“Damar,” katanya pelan, “kamu mulai bisa bicara sekarang, ya?”

Aku tersenyum malu. “Mungkin karena kamu dengar.”

Kami duduk lama di sana. Menatap langit. Menonton burung kecil terbang rendah di atas net yang mulai berkarat. Suara sekolah sudah menghilang. Yang tersisa hanya suara angin dan bayangan kami berdua di atas tanah.

“Kalau kamu bisa menyimpan satu momen dalam hidupmu, kamu pengen simpan yang mana?” tanyanya tiba-tiba.

Aku berpikir sejenak.

“Mungkin... ini.”

Dia menoleh. “Serius?”

Aku mengangguk. “Karena ini... tenang. Tapi nggak kosong.”

Dia tidak berkata apa-apa setelah itu. Hanya tersenyum. Dan sore itu, di bawah langit yang perlahan berubah jingga, aku merasa—untuk pertama kalinya—bahwa dunia tidak selalu perlu dijelaskan. Kadang, cukup dirasakan.

Beberapa momen tak butuh foto. Tak perlu kata. Tak perlu janji. Cukup disimpan dalam dada, seperti langit sore yang tak pernah berubah meski dunia di bawahnya terus berganti.

BAB 14
– Togar Jatuh Cinta Juga

“Lo pernah mimpiin orang yang gak pernah ngomong sama lo?” tanya Togar suatu sore, saat kami duduk di warung kopi kecil depan sekolah.

Aku menoleh pelan. “Maksudnya?”

“Kayak... lo cuma lihat dia dari jauh. Tapi pas tidur, dia muncul. Duduk di sebelah lo. Ngobrol. Dan rasanya nyata banget.”

Aku mengangguk pelan. “Pernah.”

“Lo mimpiin Luna, ya?” dia tertawa kecil.

Aku tersenyum kaku. Tidak menjawab. Tapi sejujurnya, akhir-akhir ini Luna memang sering hadir di kepalaku, bahkan ketika mata terpejam.

“Gue juga ngalamin,” lanjut Togar. “Tapi bukan Luna. Kak Anjani.”

Aku berhenti mengaduk teh. “Anjani? Yang anak kelas XII itu?”

Togar mengangguk, serius. “Yang rambutnya dikuncir dua. Pinter, kalem, dingin kayak lemari es. Tapi... cantiknya tuh... bukan cantik yang buat dipandangi. Tapi yang... bikin lo diem.”

Aku paham maksudnya. Karena aku juga merasa begitu pada Luna.

“Gue mimpi dia duduk di bangku belakang motor gue,” lanjutnya. “Dia bilang makasih. Gak jelas sih, tapi... pagi-pagi bangun, gue langsung senyum sendiri.”

Aku tertawa. “Mimpi lo romantis banget.”

Togar mengangkat bahu. “Gue bingung aja, Mar. Gimana caranya bikin dia lihat gue? Gue ini siapa? Anak pindahan, nilainya pas-pasan, makan masih nebeng di rumah lo kadang.”

“Kadang orang kayak kita justru yang dilihat,” kataku.

Dia menoleh, heran. “Serius lo?”

Aku mengangguk. “Soalnya kita gak ramai. Tapi kalau diperhatikan, kita... penuh.”

Togar tertawa. “Kalimat lo cocok masuk puisi.”

Minggu-minggu berikutnya, aku sering melihat Togar berdiri canggung di depan kelas XII IPA. Kadang hanya pura-pura lewat, kadang numpang beli air padahal botol minumnya masih penuh.

Aku ikut senyum setiap kali melihat dia gagal menyapa. Karena ternyata, bukan cuma aku yang takut bicara.

Satu hari, Togar datang ke rumah nenekku sambil membawa kotak kecil.

“Aku bawa donat buat nenek. Tapi sebenernya gue mau numpang ngeprint puisi,” katanya.

“Puisi?”

Dia membuka kertas lipat dari tas. Tulisannya masih miring-miring, tapi isi pesannya jujur.

Kak Anjani yang diam, tapi menenangkan.
Saya tahu saya bukan siapa-siapa.
Tapi saya ingin jadi yang diam-diam Kak perhatikan.

Aku membaca pelan. Lalu menatapnya. “Mau dikasih langsung?”

“Enggak. Gue nitip di laci meja dia pas kosong. Anonim.”

Aku tertawa. “Main aman banget.”

“Biarin. Pelan-pelan aja. Yang penting... perasaan ini nggak cuma gue simpan sendiri.”

Aku mengerti. Karena aku juga sedang menyimpan banyak hal—meski belum punya cukup keberanian untuk menulisnya, apalagi mengucapkannya.

Ternyata, jatuh cinta tak mengenal siapa kita. Kadang datang diam-diam, dan kadang... kita hanya bisa mengekspresikannya lewat puisi, mimpi, atau lirik yang kita baca pelan di kepala sendiri.

BAB 15
– Damar Menggambar Wajah Sendiri

Aku selalu menggambar orang lain.

Togar saat tertawa. Luna saat memandang ke luar jendela. Bu Mirna saat menjelaskan puisi. Bahkan Adit—dari belakang, ketika dia mengikat tali sepatunya di lorong. Semua wajah itu pernah kuabadikan dalam lembar-lembar tipis buku gambar yang nyaris penuh.

Tapi tidak pernah... aku menggambar diriku sendiri.

Malam itu, lampu meja belajar menyala redup. Rumah nenek sudah sunyi, hanya suara detak jam tua di ruang tengah dan angin kecil yang menggesek kaca jendela. Di depanku, sebuah cermin kecil berdiri tegak. Kaca itu sedikit buram. Tapi cukup untuk memantulkan siapa aku.

Aku duduk lama tanpa menggambar. Hanya menatap. Ada sesuatu yang asing dalam bayangan wajahku sendiri.

Wajahku datar. Hidung biasa. Alis sedikit turun. Mata yang... entah kenapa selalu terlihat ingin meminta maaf. Tidak ada yang menonjol. Tidak ada yang spesial. Bahkan aku sendiri sulit percaya bahwa Luna pernah menatapku lebih dari lima detik.

Tapi justru karena itu, aku ingin menggambarnya.

Bukan karena aku ingin memuji diriku sendiri, tapi karena aku ingin tahu: siapa aku, di mataku sendiri?

Tangan kiriku mulai bergerak pelan. Pensil menari di atas kertas, mencoba mengikuti garis wajahku. Bukan dengan teknik sempurna. Tapi dengan kejujuran. Setiap guratan menyimpan rasa yang sulit dijelaskan—sepi, penasaran, takut, dan juga sedikit bangga.

Aku menggambar mataku lebih dulu. Karena dari sana aku melihat dunia. Lalu bibirku—yang jarang bicara, tapi sering menyimpan kata-kata yang tak terucap. Kemudian rambutku, leher, dan garis bahu yang sedikit miring karena terlalu sering membungkuk saat menggambar.

Saat gambar itu selesai, aku terdiam. Bukan karena hasilnya. Tapi karena untuk pertama kalinya... aku merasa dilihat. Oleh diriku sendiri.

Dan anehnya, aku merasa sedikit tenang.

Keesokan harinya, aku membawa gambar itu ke sekolah. Bukan untuk ditunjukkan. Tapi untuk diingatkan—bahwa aku juga ada. Bahwa aku juga pantas punya tempat, meski di sudut paling belakang sekalipun.

Saat istirahat, aku membuka buku gambar itu di perpustakaan. Duduk sendirian. Tapi tidak merasa sepi.

Luna datang beberapa menit kemudian. Tanpa suara, tanpa salam. Dia hanya duduk di seberang, seperti biasa.

“Boleh lihat gambar barunya?” tanyanya lembut.

Aku ragu. Tapi akhirnya membuka halaman itu, dan memutarnya pelan ke arahnya.

Dia menatap lama. Lalu tersenyum.

“Itu kamu, ya?”

Aku mengangguk.

Dia tak berkata apa-apa selama beberapa detik. Lalu pelan-pelan berbisik:

“Kamu kelihatan... sedang mencari sesuatu. Tapi aku rasa, kamu udah dekat.”

Aku menatapnya. “Dekat ke mana?”

Dia tersenyum. “Ke dirimu sendiri.”

Sebelum kita dikenal orang lain, mungkin kita harus belajar mengenal diri sendiri lebih dulu. Dan kadang... butuh keberanian besar untuk menggambar bayangan yang selama ini kita hindari.

Selesai

Di Balik Dimar, Di Bawah Bulan.