
Bab 01 - 5
Undil
5/4/202510 min read
BAB 1
— Pengamat Sunyi
Aku selalu duduk di barisan paling belakang, dekat jendela yang catnya mulai mengelupas. Bangku ini sudah miring sebelah, papan duduknya retak di ujung, dan setiap kali aku menggoyangkan kaki, bunyi decit kayunya seperti keluhan kecil yang hanya bisa kudengar.
Mungkin karena itu, tak banyak orang yang mau duduk di sini. Tapi aku menyukainya. Dari sudut ini, aku bisa melihat semuanya—wajah-wajah yang tertawa di barisan depan, teman-teman yang bercanda terlalu keras, guru yang mengajar dengan nada bosan, dan jam dinding tua yang seolah sengaja bergerak lebih lambat setiap Senin pagi.
Namaku Damar. Tak banyak yang peduli, dan aku sudah lama berhenti berharap disebut dalam daftar anak yang menonjol, apalagi disukai. Wajahku biasa saja. Badanku kurus. Bajuku sering lusuh karena tinggal bersama nenek yang menjahit seragam orang kampung dengan mesin tua. Tapi aku punya sesuatu yang tak dimiliki orang lain: kemampuan mengamati.
Aku suka memperhatikan orang—cara mereka berbicara, duduk, tertawa, atau marah. Aku menggambar mereka diam-diam di buku kosong yang selalu kuselipkan di bawah meja. Aku tidak tahu sejak kapan kebiasaan ini dimulai, tapi rasanya hanya dengan menggambar, aku bisa benar-benar menyampaikan sesuatu yang tak bisa kukatakan.
Hari itu seperti biasa, langit desa mendung sejak pagi. Jalan tanah menuju sekolah becek dan licin. Aku datang lebih pagi dari biasanya karena ingin menyelesaikan sketsa Bu Mirna, guru Bahasa Indonesia kami, yang menurutku memiliki sorot mata paling tajam sekaligus paling lelah di sekolah ini.
Namun saat aku membuka buku gambarku, kelas mulai ramai. Dan di antara keramaian yang biasa itu, aku melihat seseorang yang tidak biasa.
Dia berdiri di depan pintu kelas X-B, memeluk tas dan melihat ke dalam dengan ragu. Rambutnya panjang dan hitam, matanya besar seperti bulu mata di lukisanku—dan senyumnya, entah kenapa, membuat udara yang lembap tadi pagi berubah sedikit lebih hangat.
Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku tahu dia bukan dari sini. Wajahnya bersih, sepatunya tidak belepotan lumpur, dan seragamnya disetrika rapi sekali. Ada sesuatu yang terang dari gadis itu, sesuatu yang belum pernah kulihat di sekolah ini.
Togar, satu-satunya temanku, datang menepuk pundakku.
"Eh, katanya anak pindahan. Dari kota. Anaknya guru katanya," katanya sambil duduk.
Aku tidak menjawab. Pandanganku masih ke arah pintu. Gadis itu akhirnya masuk ke kelas dan duduk di bangku depan. Dan saat ia menoleh ke belakang sebentar—mungkin karena merasa diperhatikan—mata kami bertemu sepersekian detik.
Aku cepat-cepat menunduk dan membuka buku gambarku. Tangan kiriku sudah mulai menggambar bentuk wajahnya, entah kenapa. Seperti otomatis. Aku tak bisa menghentikan.
Suaranya belum kudengar. Namanya belum kutahu. Tapi dia sudah memenuhi dua halaman di buku sketsaku.
Satu jam berikutnya, aku tidak benar-benar mendengar penjelasan Bu Mirna. Suara di kelas seperti hanya latar dari dunia yang lebih penting: dunia dalam kepalaku. Dunia di mana aku bisa melihat wajah itu dari dekat, bisa menggambar tiap garis rambutnya, bisa mengingat sorot matanya yang tenang namun penuh tanya.
Matahari mulai muncul saat istirahat pertama. Togar mengajakku ke kantin, tapi aku memilih duduk sendiri di pojok halaman dekat pohon ketapang. Aku menggambar lagi. Kali ini dari ingatan.
"Bagus gambarnya."
Aku tersentak.
Dia berdiri di sampingku. Mata besarnya menatap kertas gambarku, yang sudah memperlihatkan bayangan wajahnya yang belum jadi.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Namaku Luna," katanya.
Aku hanya mengangguk. Suaraku tak keluar.
Dia tersenyum. "Aku tahu itu aku."
Lalu dia pergi, meninggalkanku dengan jantung yang berdebar aneh, dan gambar yang tiba-tiba tak bisa kulanjutWkan.
Kadang, hidup memang dimulai bukan dari langkah pertama, tapi dari tatapan pertama. Dan pagi itu, hidupku berubah—bukan karena aku ingin, tapi karena semesta seperti mengedipkan mata padaku, diam-diam.
BAB 2
– Ruang Kelas Sudut Kiri
Pagi berikutnya, aku datang lebih awal dari biasanya. Ada yang berbeda di dadaku sejak kemarin. Sesuatu yang hangat, menggelitik, dan jujur saja, agak menakutkan.
Biasanya aku hanya datang sekadar hadir. Duduk di pojok, mengamati, menggambar, lalu pulang. Tapi hari ini, aku benar-benar menunggu sesuatu. Atau... seseorang.
Ruang kelas masih kosong saat aku masuk. Meja-meja berantakan. Kapur putih berserakan di lantai. Angin pagi dari celah jendela membawa aroma basah dari sawah yang baru disemprot pupuk. Di sudut langit-langit, sarang laba-laba belum tersapu. Sekolah kami memang tidak bersih, tapi di sanalah tempat kami hidup, belajar, dan diam-diam tumbuh.
Aku duduk di bangku biasa. Sudut kiri belakang. Bangku itu seolah bagian dari tubuhku sekarang—aku paham setiap goresannya, retaknya, bahkan bunyi reotnya saat aku bersandar. Dari sini, aku bisa melihat segalanya, termasuk bangku di barisan depan kelas X-B yang kini sering kulirik.
Luna belum datang.
Aku membuka buku gambar dan menatap lembaran kemarin. Wajahnya belum selesai. Ada bagian mata yang belum kutuntaskan, bagian bibir yang masih ragu-ragu kutarik. Entah kenapa, aku takut menyelesaikannya. Seolah dengan menggambarnya sampai tuntas, aku akan kehilangan rasa penasaran itu. Dan rasa penasaran itu... manis sekali rasanya.
Togar datang dengan langkah tergesa dan roti goreng di tangan. “Kau ngapain pagi-pagi benar, Mar?”
“Enggak bisa tidur,” jawabku pelan, tak jujur.
Dia duduk di sebelahku dan mulai makan. Kripiknya roti itu terdengar berisik sekali di telingaku yang sedang sensitif pagi ini.
“Kau lihat anak baru itu lagi, ya?” tanyanya sambil menyenggolku.
Aku tak menjawab. Tapi Togar sudah paham. Dia terkekeh, lalu mengunyah lebih pelan.
“Ikut pramuka, katanya,” lanjutnya. “Anak aktif, kayaknya. Awas hati-hati, Mar. Cewek cantik gitu banyak peminat.”
Aku hanya diam. Mataku kembali ke halaman kosong di buku gambar.
Tak lama kemudian, suara sepatu terdengar di lorong kelas. Langkah ringan. Lalu muncul Luna di ambang pintu, rambutnya digerai seperti kemarin, dan dia menyapa Bu Mirna yang baru datang dari ruang guru. Senyumnya masih sama—sederhana, tanpa dibuat-buat.
Dia menoleh ke dalam. Aku buru-buru menunduk, pura-pura mencari sesuatu di dalam tas. Tapi lewat sudut mataku, aku melihatnya berjalan melewati kelasku. Dan anehnya, entah disengaja atau tidak, dia sempat melirik ke arahku. Sekilas. Singkat. Tapi cukup untuk membuat napasku tertahan.
Jam pelajaran pertama dimulai. Pak Edi, guru Matematika yang paling ditakuti, masuk dengan wajah tanpa ekspresi. Dia mulai menulis soal di papan dengan suara gesek kapur yang kasar. Tapi otakku tak bisa berhenti mengulang satu kalimat: "Aku tahu itu aku."
Suara Luna kemarin masih terngiang. Cara dia mengatakan itu... entah bagaimana, bukan seperti orang marah atau terganggu. Seolah dia membiarkan aku melihatnya. Seolah dia mengizinkan.
Tanganku refleks membuka halaman baru dan mulai menggambar lagi. Bukan wajahnya, kali ini—tapi sosoknya dari belakang. Rambut panjang, langkah ringan, dan tangan yang menggenggam buku erat di dada.
Suara Pak Edi makin jauh di telingaku. Dunia di kelas seolah kabur, tinggal aku dan gambar.
“Damar!”
Aku tersentak. Semua mata menoleh padaku.
“Hitung integral ini di papan,” perintah Pak Edi dengan nada datar namun tajam.
Aku menelan ludah. Keringat dingin mengalir. Buku gambar buru-buru kuselipkan ke dalam tas. Aku maju pelan, menatap papan tulis seperti menghadapi dinding neraka.
Soalnya rumit. Aku tidak tahu. Tapi aku tulis saja apa yang kupikir benar. Gemetar.
Saat aku kembali duduk, Togar menyenggolku. “Kau zonk, bro.”
Aku hanya menarik napas panjang. Tapi di dalam hati, aku lega. Gambar itu sudah tersimpan. Dan Luna, entah kenapa, masih menoleh ke arahku saat bel istirahat berbunyi.
Kadang kita berpikir kita tak berarti. Tapi lalu seseorang menoleh, dan seluruh dunia seolah bilang: kamu ada. Dan itu cukup untuk bertahan satu hari lagi.
BAB 3
– Pasar, Sepeda, dan Gerimis
Setiap pagi, aku melewati pasar kecil yang letaknya tak jauh dari rumah nenek. Pasar itu lebih mirip kumpulan tikar dan terpal plastik yang dibentangkan seadanya. Warung sayur, penjual ikan, tukang tambal ban, dan suara ibu-ibu menawar harga selalu jadi musik latar jalur sekolahku.
Aku naik sepeda tua bermerk Phoenix, warisan dari almarhum kakek. Warna birunya telah pudar menjadi kusam, sadelnya keras, dan rem belakangnya suka mengunci sendiri. Tapi sepeda ini satu-satunya kendaraan yang bisa kubanggakan—walau sering ditertawakan Adit dan geng motornya.
Pagi itu langit muram. Gerimis tipis mulai turun sejak subuh. Aku mengenakan jaket abu-abu yang bagian lengan kirinya sudah bolong karena terbakar puntung rokok—bukan milikku, tentu saja. Tapi jaket ini milik Togar yang dia tinggalkan dua bulan lalu dan tak kunjung diambil lagi.
Ban sepeda menyentuh kubangan air, memercikkan lumpur ke celana seragamku. Aku tak peduli. Dalam pikiranku hanya ada satu hal: apakah hari ini Luna akan menyapaku lagi?
Aku tahu itu naif. Tapi sejak dia datang, aku mulai punya alasan untuk memperhatikan pagi dengan lebih dalam. Aku tak lagi hanya mengamati dunia dari jauh. Sekarang aku menunggu—dan berharap.
Di pertigaan pasar, aku berhenti sejenak. Bukan karena lelah, tapi karena ingin melihat. Di bawah tenda biru, seorang ibu tua menjual bunga dan dupa. Di depannya, anak kecil dengan seragam SD duduk memakan nasi bungkus. Aku menggambar mereka di kepalaku—bentuk tubuh, cahaya mata, dan warna gerimis di sekitar mereka.
Semuanya bisa jadi gambar. Dunia seperti galeri tanpa bingkai.
Lalu seseorang memanggil namaku. Suara halus, tapi cukup membuatku panik.
“Damar?”
Aku menoleh. Luna.
Dia berdiri di seberang jalan dengan payung ungu di tangan. Rambutnya sedikit basah. Dia memakai jaket tipis dan ransel kecil warna biru laut.
Aku sempat ragu menjawab. “Iya...”
Dia tersenyum, seperti biasa. “Kamu lewat sini juga?”
Aku mengangguk. “Setiap hari.”
“Sepedamu lucu,” katanya, membuatku nyaris jatuh dari sadel. Tak ada yang pernah menyebut sepedaku ‘lucu’ sebelumnya. Biasanya: butut, tua, atau siap masuk kuburan.
“Kamu mau bareng?” tanyaku—aku sendiri terkejut bisa melontarkannya.
Dia mengangguk cepat. “Mau.”
Aku menyingkirkan sedikit barang di boncengan. Dia duduk hati-hati, menutup payung, dan memegang erat bagian belakang sadel. Jantungku berdegup tak beraturan.
Sepanjang jalan, kami tidak banyak bicara. Aku takut kalau bicara, dia bisa dengar degup dadaku yang berisik. Tapi dalam diam itu, aku merasa dunia berubah perlahan.
Roda sepeda melewati jalanan sempit, berlumpur, dan penuh suara. Angin pagi menyapa wajahku, dan aroma rambut Luna entah bagaimana lebih harum dari bunga pasar.
“Damar,” katanya pelan. “Kamu suka menggambar, ya?”
Aku hampir kehilangan kendali setang.
“Dari mana kamu tahu?” tanyaku gugup.
Dia tertawa pelan. “Aku tahu. Kamu pandai. Tapi wajahku... agak miring, ya?”
Aku ingin tertawa juga, tapi aku terlalu kaku untuk lucu. Aku hanya berkata, “Aku belum selesai menggambarnya.”
Dia diam sejenak. “Kalau sudah selesai... boleh aku lihat?”
Aku mengangguk.
Kami sampai di sekolah saat gerimis mulai reda. Dia turun dari sepeda, mengucapkan terima kasih, dan berlari kecil menuju kelasnya. Dan aku berdiri di tempat parkir dengan perasaan yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Kadang, jarak dari pasar ke sekolah hanya sepuluh menit. Tapi bersama orang yang kau suka, itu bisa terasa seperti perjalanan yang ingin kau ulang setiap hari.
BAB 4
– Luna Datang
Sejak hari dia duduk di boncengan sepedaku, dunia sekolah berubah. Tidak secara besar-besaran—tidak seperti film-film remaja yang sering Togar pinjam dari rental VCD—tapi lebih halus, lebih sunyi. Seperti daun yang jatuh perlahan ke tanah, tapi kau tahu, kejatuhannya akan membuat sesuatu tumbuh di bawahnya.
Hari itu, Luna masuk kelasnya dengan langkah ringan. Dari bangkuku yang biasa—sudut kiri belakang kelas sebelah—aku bisa melihatnya jika aku memiringkan kepala sedikit. Dan ya, aku melakukannya. Berkali-kali.
Dia duduk di barisan kedua dari depan, dekat jendela. Cahaya pagi yang masuk dari luar membuat rambutnya tampak bersinar samar. Dia kadang mencatat, kadang menatap keluar jendela. Dan sesekali... dia tersenyum sendiri.
Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Tapi aku berharap, setitik kecil dari senyum itu mungkin berasal dari ingatan tentang sepeda tuaku yang meringsek melewati lumpur.
Togar menyikutku. “Kamu jadi aneh sekarang, Mar. Banyak senyum sendiri.”
“Aku enggak senyum.”
“Kamu enggak sadar.”
Aku mendengus, pura-pura sibuk mencoret-coret buku catatan. Tapi coretan itu bukan rumus. Itu sketsa mata. Matanya.
Jam istirahat, aku sengaja berjalan lebih lambat ke perpustakaan. Biasanya hanya ada dua atau tiga orang di sana. Hari ini ada satu tambahan: Luna.
Dia duduk di pojok, membalik halaman buku dengan jemari yang bersih dan rapi. Dia tidak melihatku. Tapi aku berhenti beberapa langkah dari tempatnya, pura-pura memilih buku di rak dekatnya.
Dari balik sela rak, aku mengamati. Wajahnya fokus. Alisnya sedikit berkerut. Buku yang ia baca: Puisi-Puisi W.S. Rendra.
Tak seperti kebanyakan teman sebayanya. Aku tahu itu. Anak lain mungkin lebih suka komik, novel picisan, atau tidak membaca sama sekali. Tapi dia memilih puisi.
Aku memberanikan diri mengambil buku tebal dan duduk dua kursi di belakangnya. Buku itu hanya pengalih. Aku tak membaca. Aku hanya menyimak—bukan suaranya, tapi keheningan yang ia bawa.
Tiba-tiba dia menoleh. Matanya langsung menatapku.
“Aku suka puisi,” katanya tiba-tiba.
Aku terdiam, tidak siap ditanya.
“Kamu suka gambar, aku suka kata,” lanjutnya sambil tersenyum.
Aku menelan ludah. “Kenapa kamu suka puisi?”
Dia berpikir sejenak. “Karena... kadang dunia terlalu keras untuk dijelaskan dengan biasa. Kata-kata indah bisa membuat luka jadi terasa seperti kenangan.”
Aku tak tahu harus membalas apa. Tapi hatiku terasa seperti kertas yang diremas dan dibuka kembali—masih kusut, tapi kini ada sesuatu yang tertulis di dalamnya.
Dia berdiri, merapikan bukunya, lalu berjalan melewatiku. Sebelum keluar, dia berkata pelan:
“Aku tunggu lukisanku selesai, ya.”
Dan aku tahu, hari-hari setelah ini tak akan sama lagi.
Dulu aku hanya menggambar diam-diam. Tapi sekarang, seseorang menunggu hasilnya. Dan itu... mengubah segalanya.
BAB 5
– Majalah Dinding
Aku tidak tahu siapa yang menempelkannya di sana.
Pagi itu, suasana sekolah terasa sedikit lebih riuh dari biasanya. Di dekat lorong utama, tepat di samping ruang guru, sekelompok siswa berkumpul mengelilingi majalah dinding. Suara mereka gaduh, tawa pecah di antara bisik-bisik, dan yang paling membuatku panik—aku mendengar nama “Luna” disebut berkali-kali.
Aku mempercepat langkah, tapi berhenti beberapa meter sebelum kerumunan itu. Napasku tertahan. Sesuatu dalam dada terasa seperti benang yang tiba-tiba ditarik keras.
Dari sela kepala-kepala yang mengintip, aku bisa melihatnya—gambar wajah Luna. Gambarku.
Bukan hanya sekadar sketsa cepat. Itu gambar yang kukerjakan semalam, diam-diam, di bawah cahaya redup lampu kamar. Aku menaruh semua perasaanku di sana: bentuk matanya yang teduh, senyumnya yang separuh malu, dan cahaya samar yang biasa menari di wajahnya saat pagi.
Seseorang telah menyalin dan menempelkannya di majalah dinding sekolah. Di pojok kanan bawah, tertulis: “Luna dalam Mata yang Mengamati.”
Aku mundur satu langkah. Rasanya seperti ditelanjangi.
“Siapa yang gambar ini ya?” tanya seorang siswa.
“Aku kira anak OSIS yang baru,” jawab yang lain.
“Apa dia pacarnya Luna?”
Suara-suara itu seperti peluru-peluru kecil yang menghantam wajahku. Aku tahu aku harus pergi, menjauh, pura-pura tak tahu. Tapi tubuhku diam di tempat.
Luna datang tak lama kemudian. Dia menghampiri mading, membuka jalan di antara teman-teman yang berkerumun. Mereka otomatis memberi ruang.
Dia menatap gambar itu lama. Tidak tertawa. Tidak terkejut. Hanya... diam.
Kemudian dia tersenyum kecil. Senyum yang pernah kutangkap waktu dia duduk di belakangku di perpustakaan.
Dan saat matanya menyapu sekitar, aku menunduk cepat, berpura-pura mengikat tali sepatu. Tapi aku yakin dia tahu aku ada di sana.
“Gila, itu gambar kamu, kan?” bisik Togar saat kami duduk di kelas.
Aku tidak menjawab.
“Mar, serius, itu gambar kamu. Aku pernah lihat gaya garis-garisnya di bukumu.”
Aku masih diam.
“Kamu yang tempel di mading?”
Aku menggeleng. “Bukan aku.”
Dan itu memang benar. Aku tidak pernah berniat mempublikasikan gambar itu. Aku bahkan tidak tahu siapa yang menyalinnya. Kemungkinan besar... seseorang yang membuka bukuku tanpa izin.
Togar menatapku lama, lalu berkata, “Tapi sekarang semua orang tahu, bro. Dan semua mulai ngomongin kamu.”
Kalimat itu seharusnya membuatku bangga. Tapi entah kenapa, aku malah merasa takut. Aku tak biasa menjadi pusat perhatian. Aku nyaman di balik kaca, bukan di tengah sorotan lampu.
Saat istirahat, aku menolak ajakan Togar ke kantin. Aku hanya duduk sendiri di bangku panjang dekat pohon jambu, menggambar ulang gambar yang sama. Tapi semakin aku mencoba mengulang, semakin terasa palsu. Emosi yang kemarin malam tak bisa dipalsukan.
Luna muncul dari arah perpustakaan. Dia membawa buku dan sekantong kecil plastik berisi permen.
“Gambarnya bagus,” katanya pelan, duduk di ujung bangku.
Aku tidak bisa menatap langsung matanya. Aku hanya mengangguk.
“Kamu yang gambar, kan?”
Aku ragu. Tapi akhirnya mengangguk pelan.
Dia menghela napas pelan. “Aku suka.”
Lalu dia membuka kantong plastik dan menyodorkan satu permen. “Mau?”
Aku mengambil satu, dan kami makan dalam diam.
Dulu aku ingin dia tahu. Tapi sekarang, setelah dia tahu, aku malah berharap bisa kembali ke ketidaktahuan. Kadang, menjadi terlihat adalah beban yang lebih berat dari yang kukira.

Inspiration
A haven for stories, art, and creativity.
© 2025. Undil - All rights reserved.