Bab 16 -20

Undil

5/2/20259 min read

BAB 16
– Luna dan Hujan

Langit tiba-tiba gelap siang itu. Angin berhembus lebih dingin dari biasanya, dan aroma tanah basah sudah menyusup ke dalam kelas sebelum bel istirahat berbunyi. Suara guntur terdengar jauh, seperti batuk dunia yang lelah.

Aku berdiri di depan kelas dengan buku gambar di tangan, menimbang apakah akan tetap ke perpustakaan atau tidak. Tapi hujan turun sebelum aku sempat melangkah.

Deras. Deras sekali.

Lorong sekolah berubah jadi sungai kecil. Anak-anak berlarian. Beberapa berteriak senang, yang lain mengeluh karena seragam basah. Aku melangkah pelan menuju tempat berteduh di bawah tangga dekat taman belakang—satu-satunya sudut yang cukup tenang untuk mendengar suara hujan tanpa dicampuri suara lain.

Dan di sana, sudah ada Luna.

Dia berdiri memeluk tas, rambutnya sedikit basah di ujung, dan mata besarnya menatap tetesan air yang jatuh dari atap. Saat dia melihatku, dia tersenyum. Tanpa banyak bicara, aku berdiri di sampingnya. Jarak kami tak lebih dari setengah meter. Tapi rasanya... cukup untuk menampung seluruh dunia.

“Sejak kecil aku suka hujan,” katanya pelan, menembus suara air yang deras.

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena hujan menutupi semuanya. Tangisan, tawa, bahkan kesepian. Semua terdengar sama.”

Aku menatap ke depan. Aku tahu maksudnya. Karena aku juga sering menyembunyikan sesuatu di balik suara hujan.

“Kamu suka hujan?” tanyanya balik.

“Aku suka... karena waktu jadi lambat. Dan orang-orang jadi diam.”

Dia tertawa kecil. “Kamu emang suka diam, ya?”

Aku mengangguk. “Tapi kadang... diam juga bisa penuh suara.”

Luna mengusap sedikit air dari ujung lengan seragamnya. “Waktu aku kecil, aku pernah lari keluar rumah pas hujan. Mama marah. Tapi waktu itu aku merasa bebas. Kayak semua masalah bisa hilang kalau kita basah kuyup.”

Aku menoleh. “Masalah kamu apa waktu kecil?”

Dia berpikir sejenak. “Aku takut... kehilangan orang tua. Mereka terlalu baik.”

Aku tidak menjawab. Tapi diam-diam, aku merasa iri. Karena aku tidak tahu rasanya takut kehilangan orang tua yang baik. Aku hanya tahu rasanya tidak pernah mengenal mereka.

Kami berdiri dalam diam beberapa menit. Hujan belum reda. Tapi kami tidak merasa perlu bertanya kapan akan berhenti.

“Kalau kamu bisa milih satu tempat untuk menghilang sementara, kamu mau ke mana?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh, lalu menjawab pelan, “Ke tempat yang bisa dengar semua pikiranku, tapi nggak minta aku ngomong apa-apa.”

Dia menatapku lama. Lalu tersenyum—senyum paling lembut yang pernah kulihat darinya.

“Mungkin tempat itu bukan tempat,” katanya. “Mungkin... itu orang.”

Dan aku tidak tahu harus berkata apa. Karena dalam hati, aku berharap—diam-diam—kalau aku juga bisa jadi tempat seperti itu untuknya.

Kadang, hujan bukan sekadar air dari langit. Tapi juga ruang kecil yang melindungi dua orang yang takut bicara, tapi tak ingin berpisah. Dan hari itu, aku tahu... aku sedang jatuh lebih dalam.

BAB 17
– Nenek Sakit

Nenek mulai batuk sejak dua hari lalu. Awalnya kupikir hanya batuk biasa, karena udara pagi memang sedang dingin-dinginnya, dan kami tinggal di rumah kayu tua yang setiap celahnya bisa dilewati angin. Tapi hari ini, napasnya terdengar berat. Seperti ada beban yang ditarik dari dalam dadanya.

Sejak pagi aku sudah gelisah. Di sekolah, aku duduk di bangku belakang seperti biasa, tapi tidak ada yang bisa kutangkap dari pelajaran. Tulisan di papan putih hanya seperti semut-semut kecil yang mondar-mandir tanpa arah. Suara guru seperti siaran radio yang tertangkap setengah.

Buku gambar di pangkuanku terbuka, tapi kosong. Pensilku tak bergerak. Tanganku dingin.

Nenek adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Dia yang membesarkanku, menyuapiku dengan nasi dan dongeng, dan merapikan rambutku setiap pagi meskipun aku bilang sudah besar. Dia yang pertama memuji gambarku waktu aku menggambar burung di tembok rumah pakai arang dapur. Katanya, "Tanganmu lembut, Mar. Tapi hatimu lebih lembut lagi."

Dan sekarang, tangannya itu... menggigil setiap kali dia menarik selimut.

Saat jam istirahat, Togar duduk di sebelahku. Dia memperhatikan aku diam terlalu lama.

“Lo kenapa, Mar?”

Aku menggeleng. “Nenek batuk-batuk. Badannya panas. Tapi gak mau ke puskesmas.”

“Lo udah bilang ke Bu Mirna?”

Aku menatapnya. “Aku gak mau dia sedih juga. Udah cukup nenek sakit, jangan bikin orang lain khawatir.”

Togar terdiam. “Lo bisa minta izin, tahu. Gue bilangin kalau perlu.”

Aku hanya menunduk. Hati dan tubuhku seperti tertinggal di rumah. Sekolah hari ini terasa seperti ruang tunggu—lama, sunyi, dan menakutkan.

Saat pulang sekolah, aku tidak menunggu Togar seperti biasa. Aku langsung mengayuh sepedaku secepat mungkin melewati jalan tanah, kubangan air, dan angin yang terasa makin dingin. Di rumah, nenek sedang berbaring di tikar, selimut tipis menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat. Matanya terbuka setengah.

Aku duduk di sampingnya.

“Nenek pengen teh?” tanyaku pelan.

Dia mengangguk kecil. Tangannya kurus sekali.

Aku membuatkan teh jahe, seperti yang biasa ia buatkan untukku dulu saat aku demam. Tapi sekarang, aku yang menunggu di sampingnya, memegangkan gelas itu perlahan ke bibirnya.

“Nenek... kita ke puskesmas ya, besok?” pintaku.

Tapi dia hanya berkata, “Nenek gak suka ditusuk-tusuk jarum.”

Aku tersenyum getir. “Tapi kalau gak sembuh, Damar gak bisa tenang.”

Dia menatapku. Matanya sendu. Tapi kali ini dia tidak membantah. Hanya mengangguk pelan.

Malamnya aku tidak bisa tidur. Aku duduk di meja kayu kecil di kamar. Buku gambar terbuka. Tapi sekali lagi... kosong. Aku mencoba menggambar nenek—bukan sebagai orang sakit, tapi seperti saat ia tertawa waktu aku menang lomba menggambar di kecamatan. Tapi bayangannya kabur.

Aku takut lupa wajahnya.

Aku takut waktu terlalu cepat.

Aku takut... aku tidak siap.

Di luar jendela, hujan turun tipis. Suara malam di desa seperti nyanyian duka yang tertahan.

Lalu aku mengambil selembar kertas baru. Bukan untuk menggambar, tapi untuk menulis. Hanya satu kalimat:

"Kalau nanti nenek pergi, tolong beri aku cukup cahaya untuk terus menggambar."

Keesokan paginya aku tidak masuk sekolah. Aku mengantar nenek ke puskesmas. Dan dalam hatiku, aku mulai sadar satu hal: bahwa tidak semua kehilangan datang tiba-tiba. Kadang, ia datang perlahan, satu batuk demi batuk, satu malam demi malam.

Dan itu... terasa lebih menyakitkan.

Ada jenis cinta yang tak perlu dikatakan, tak pernah ditulis di kartu, tak pernah diucapkan dengan “aku sayang kamu.” Tapi ia hidup dalam segelas teh hangat, dalam tangan yang menggigil, dalam mata yang tak ingin membuatmu cemas.

BAB 18
– Kado Ulang Tahun

Hari itu, kelas Luna tampak berbeda. Balon kertas tergantung di sisi papan tulis, pita merah dan biru berusaha menambah semangat di dinding kelas yang mulai kusam. Beberapa teman sekelasnya bersorak kecil, menyanyikan lagu ulang tahun setengah bernada sumbang. Di atas meja guru ada dua kotak nasi kuning, dan tumpukan tisu yang entah kenapa lebih banyak dari biasanya.

Luna tersenyum sepanjang hari. Senyum yang tak dibuat-buat, tapi juga tak sepenuhnya lepas. Senyum yang sopan. Wajar. Mewakili seseorang yang sudah cukup besar untuk tahu bahwa ulang tahun bukan lagi tentang kue dan kado, melainkan soal bagaimana bertahan sejauh ini.

Adit, tentu saja, jadi pusat perhatian.

Dia datang membawa boneka beruang putih besar—satu-satunya benda yang mencolok hari itu. Disusul dengan sekotak mawar plastik yang diikat dengan pita ungu dan tulisan “Untuk Luna, yang paling manis di kelas.”

Seluruh kelas bertepuk tangan. Beberapa bersiul. Luna tertawa pelan, menerima hadiah itu dengan wajah yang tak bisa dibaca. Ia berkata “terima kasih” seperti seharusnya. Tapi matanya... seperti sedang mencari sesuatu yang lain.

Dan “sesuatu” itu datang setelah bel terakhir.

Saat kelas mulai kosong, Luna menemukan sebuah amplop cokelat tua tergeletak di dalam laci mejanya. Tidak ada nama. Tidak ada tulisan di luar.

Ia membukanya dengan pelan. Di dalamnya ada selembar kertas gambar ukuran A4, agak tebal, dengan guratan pensil halus dan detail. Gambar itu adalah... dirinya.

Bukan dirinya yang sedang tertawa atau bersolek. Tapi dirinya yang sedang menatap keluar jendela—tenang, fokus, dengan cahaya samar yang jatuh di sisi wajahnya. Rambutnya digambar mengalir seperti sedang tersapu angin, dan matanya... menggambarkan rasa ingin tahu yang lembut.

Di balik gambar itu, hanya ada satu kalimat kecil, ditulis tangan dengan tinta hitam:

“Untuk wajah yang mengingatkan dunia bahwa kelembutan tak selalu harus bicara keras.”

Luna duduk kembali di kursinya. Sunyi. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh sudut kertas itu.

Ia mengenali gaya gambar itu.

Terlalu halus untuk anak OSIS. Terlalu personal untuk hasil kerja iseng. Terlalu... jujur.

Hanya satu orang yang bisa menggambarnya seperti itu. Hanya satu orang yang pernah memperhatikannya cukup lama untuk tahu bentuk matanya saat diam.

Damar.

Sore itu, Luna berjalan ke perpustakaan. Langkahnya pelan. Angin sore menyisir lorong sekolah, membawa aroma tanah basah dan bunyi kertas yang tertinggal di jendela.

Damar duduk di pojok seperti biasa. Buku gambar terbuka di hadapannya, pensil di tangan, tapi tak bergerak. Seolah sedang menunggu.

Luna duduk di seberangnya. Tidak berkata apa-apa selama beberapa detik. Lalu, pelan-pelan, ia bertanya:

“Kalau aku dapat hadiah gambar yang mirip banget sama karya kamu... harusnya aku tanya ke siapa?”

Damar menatapnya, lalu menunduk. “Mungkin tanya saja ke dirimu sendiri... siapa yang kamu rasa cukup dalam untuk menggambarmu.”

Luna mengamati wajah Damar lama. Lalu berkata:

“Kenapa nggak pakai nama?”

Damar mengangkat bahu. “Kadang... lebih mudah menyampaikan perasaan tanpa harus menanggung jawabannya.”

Luna tertawa kecil, tapi tidak sinis. Justru seperti baru mengerti sesuatu yang selama ini samar.

Dia tidak mengatakan “terima kasih.” Tidak juga bilang “aku suka.” Tapi ia menyimpan gambar itu dalam mapnya dengan hati-hati—seperti menyimpan sesuatu yang rapuh tapi penting.

Malam harinya, Luna duduk di kamarnya, membuka kembali lukisan itu. Ia menatap gambar dirinya yang sedang menatap ke luar jendela.

Dan untuk pertama kalinya... ia merasa dilihat. Bukan oleh orang yang ingin memilikinya, tapi oleh seseorang yang benar-benar memahaminya.

Beberapa hadiah tidak dibungkus kertas kado. Tidak datang dengan pita. Tidak diserahkan di tengah sorak-sorai. Tapi ia tinggal diam-diam di laci meja—dan mengguncang isi hati yang paling dalam.

BAB 19
– Ciuman Pertama yang Tak Jadi

Ada waktu-waktu di mana dunia seolah sengaja melambat. Bukan karena jam rusak atau angin berhenti, tapi karena jantung kita berdetak terlalu keras, terlalu cepat, sampai waktu seakan ikut bingung—harus diam atau berlari.

Sore itu, adalah salah satunya.

Aku dan Luna berjalan berdua menyusuri jalan setapak kecil di belakang sekolah. Di kanan, semak-semak liar. Di kiri, sawah yang mulai menguning. Langit memerah pelan, seperti kanvas yang diusap cat air tipis. Angin membawa bau jerami, dan langkah kami bergema di tanah yang baru saja dilewati hujan semalam.

Luna mengenakan cardigan tipis di luar seragam sekolah. Rambutnya diikat longgar, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Di tangannya, ia memegang buku puisi yang baru dipinjam dari perpustakaan.

Kami tidak banyak bicara. Tapi diam kami bukan canggung—justru terasa seperti rumah.

Kami tiba di kebun kecil tempat biasa siswa berkumpul diam-diam kalau ingin kabur dari pelajaran olahraga. Tapi kali ini tidak ada siapa-siapa. Hanya kami. Hanya dua orang yang mulai tahu, bahwa rasa yang tumbuh tidak selalu bisa disembunyikan terlalu lama.

Luna duduk di atas balok kayu yang ditinggalkan pekerja bangunan. Aku duduk di sampingnya. Jarak kami hanya sejengkal. Tapi udara di antaranya seperti ladang listrik kecil yang tak terlihat.

“Kamu tahu,” katanya pelan, “kadang aku merasa hidup ini... kayak puisi yang belum selesai ditulis.”

Aku menoleh.

“Kenapa?”

“Karena kita gak tahu bait terakhirnya. Tapi tetap nulis. Tetap berharap... kalimat berikutnya akan membuat segalanya masuk akal.”

Aku tersenyum. “Kalau hidupmu puisi... aku pengen jadi titik komanya.”

Dia tertawa. “Kenapa bukan baitnya?”

“Karena titik koma itu... diam, tapi punya fungsi. Dia bikin jeda, tapi bukan akhir.”

Kami tertawa pelan. Lalu diam lagi.

Dan di momen itu, Luna menoleh. Matanya menatapku lama. Sungguh lama. Aku bisa melihat pantulan langit senja di bola matanya. Ia sedikit mendekat. Aku bisa mencium aroma sampo di rambutnya, bisa mendengar napasnya yang sedikit tidak teratur.

Aku tidak tahu siapa yang bergerak lebih dulu. Tapi wajah kami semakin dekat. Napas kami menyatu. Hatiku berdegup begitu kencang, hingga suara detaknya seakan menggema di dadaku.

Lalu... suara motor memecah segalanya.

“LUNAAA!”

Kami berdua tersentak. Luna langsung menjauh, berdiri kaku. Aku menoleh ke jalan setapak. Di sana—Adit. Dengan motor bebeknya, jaket terbuka, dan suara terlalu keras untuk sore seindah ini.

“Pulang, yuk?” teriaknya lagi, seolah sedang mengundang seluruh dunia untuk tahu.

Luna ragu. Ia menatapku sekilas. Wajahnya bingung. Tapi hanya beberapa detik.

Lalu dia mengangguk kecil, dan berjalan ke arah Adit.

Aku duduk membeku.

Langit yang tadi merah lembut, kini berubah gelap. Angin yang tadi hangat, terasa hambar. Dan dunia yang tadinya terasa kecil dan hangat... kembali jadi luas dan dingin.

Malam itu, aku membuka kembali buku gambarku.

Gambarku tak selesai. Sketsa wajah Luna di senja tadi terputus di tengah. Garisnya goyah. Cahaya di matanya tak sempat kuberi detail. Seperti momen itu—nyaris, tapi tak jadi.

Aku menulis satu kalimat di pojok bawah halaman itu:

“Kadang, yang menyakitkan bukan kehilangan. Tapi ketika kita tahu, kita nyaris punya kesempatan... tapi tidak cukup waktu.”

BAB 20
– Mendaki Bukit Sendirian

Aku tak tahu pasti apa yang membawaku ke bukit itu pagi-pagi sekali. Mungkin karena semalam aku tak bisa tidur. Mungkin karena kepalaku dipenuhi suara mesin motor Adit dan pandangan Luna yang setengah berpaling, setengah menyesal.

Atau mungkin karena aku butuh ruang—untuk diam tanpa harus ditanya.

Langit masih abu-abu waktu aku keluar rumah. Nenek masih tertidur, batuknya sesekali terdengar dari bilik dalam. Aku meninggalkan catatan kecil di meja: “Aku ke bukit bentar, Nek. Bawa pensil.”

Sepedaku kuparkir di kaki bukit. Dari sana, aku berjalan kaki. Udara pagi masih menggigit kulit, rumput basah menyentuh mata kakiku. Kabut tipis menggantung di sela pepohonan. Jalan setapak penuh lumpur, tapi aku terus melangkah. Pelan. Hati-hati. Seolah setiap langkah juga membawaku menjauh dari sesuatu yang tak ingin kuhadapi.

Sampai akhirnya aku sampai di puncak kecil itu. Bukit di sisi timur desa kami. Tak ada siapa-siapa. Hanya suara burung dari jauh, suara dedaunan disentuh angin, dan pandangan terbuka ke lembah hijau yang dibelah aliran sungai kecil.

Aku duduk di atas batu datar. Batu yang biasa kupakai saat kecil untuk menggambar langit.

Kukeluarkan buku gambar dari tas, dan sebotol air. Aku membuka halaman baru. Kosong. Aku menatapnya lama, tapi tak langsung menggambar.

Aku hanya menatap langit. Mengikuti awan yang bergerak. Menonton dunia dari atas.

Dari tempat ini, rumah-rumah di desa hanya seperti titik-titik kecil. Orang-orang seperti semut. Dan masalahku... terlihat seperti noda kecil yang mudah hilang jika kuusap pelan.

Tapi di dadaku, luka itu tetap terasa besar.

Aku mulai menggambar setelah satu jam hanya duduk.

Bukan wajah Luna. Bukan Adit. Bukan aku sendiri.

Aku menggambar seseorang yang duduk memunggungi dunia. Duduk di atas batu, menatap jauh ke langit, dengan tubuh yang terlihat kuat, tapi bahunya sedikit jatuh. Seolah menanggung sesuatu yang berat.

Gambar itu... mungkin tentang aku. Tapi mungkin juga tentang siapa pun yang pernah jatuh cinta dalam diam.

Aku menulis sesuatu di bawahnya, huruf-huruf kecil:

“Semua orang butuh tempat untuk pulang. Tapi kadang, kita hanya diberi puncak sepi untuk berhenti sebentar.”

Angin meniup halaman itu pelan. Dan entah kenapa, aku merasa sedikit lebih ringan.

Saat matahari mulai naik, aku turun perlahan. Di bawah, desa mulai bangun. Suara ayam. Suara ibu-ibu menyapu halaman. Suara radio dari warung kopi.

Aku kembali ke rumah, mencuci kaki, dan duduk di dekat nenek yang kini sudah terjaga.

“Nenek mimpikan kamu tadi,” katanya sambil tersenyum kecil.

Aku mengangkat alis. “Mimpi apa?”

“Mimpi kamu mendaki bukit dan terbang... jadi burung. Tapi gak pakai sayap.”

Aku tertawa pelan. “Aneh banget.”

“Nggak. Nenek kira... itu pertanda kamu akhirnya belajar menerima angin, meskipun nggak bisa terbang.”

Aku diam. Menatap nenek yang sudah terlalu lama menahan hidup sendirian demi cucunya.

Dan pagi itu, aku tahu: meski hatiku remuk, dunia tidak akan menunggu.

Kadang, kita pergi ke tempat tinggi bukan untuk mencari jawaban. Tapi hanya untuk mendengar suara hati sendiri tanpa gangguan. Dan dari sana, kita mungkin tidak menemukan solusi, tapi menemukan... dirimu yang utuh kembali.

Fase 1 - Selesai

Di Balik Dimar, Di Bawah Bulan.