"Satu Langkah Kecil"

Dira, seorang pegawai kantoran, berjuang melawan kebiasaan buruk yang membuatnya tidak produktif dengan membangun perubahan kecil setiap hari. Melalui langkah sederhana dan konsisten, ia perlahan menemukan kembali identitas sejatinya sebagai seorang penulis.

CERPEN

Dikgun

4/29/20256 min baca

Pukul delapan malam, Dira masih tergolek di sofa dengan ponsel menempel di wajah. "Hanya lima menit," katanya pada diri sendiri satu jam lalu. Sekarang, ia bahkan tak tahu video apa yang terakhir ditontonnya. Seperti malam-malam sebelumnya, lagi-lagi waktunya habis untuk scroll tanpa tujuan.

"Kenapa aku selalu begini?" gumamnya, menutup mata. Rasa bersalah menghantam dada, tapi seperti biasa, rasa itu hanya lewat sebentar lalu menghilang.

Di dinding, sticky notes berwarna-warni bertuliskan mimpi-mimpi lamanya mulai menguning: "Novel pertama: selesai tahun ini!" "Menulis 500 kata per hari!" "Bangun jam 5 pagi!" Semuanya masih menatapnya, seakan menghakimi.

"Dira, kau hanya kurang disiplin."

Begitulah suara kecil di kepalanya. Tapi itu bukan sekadar masalah disiplin. Ada sesuatu yang lebih dalam: ketakutan. Ketakutan gagal. Ketakutan mulai.

Saat itu, layar ponselnya menyala: pesan dari Bayu.

Bayu: "Bro, besok ngopi? Gw mau sharing sesuatu keren tentang 'atomic habits'."

Dira tersenyum kecut. Bayu, si orang super produktif itu. Tapi mungkin... mungkin ia butuh sesuatu untuk mengubah hidupnya.

Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil. Bayu muncul dengan jaket lusuh, rambut agak berantakan, tapi matanya bersinar penuh energi.

"Gue baca buku gila, Dir. 'Atomic Habits'." Bayu mengacungkan buku lusuh beraneka coretan stabilo. "Lu tahu? Perubahan gede itu bukan soal tekad kuat, tapi soal kebiasaan kecil."

Dira mengangkat alis skeptis.

"Kebiasaan kecil?" tanyanya.

"Iya. Satu persen lebih baik setiap hari. Bukan langsung 500 kata, bukan langsung bangun jam 5. Tapi sekecil... duduk di meja tulis satu menit setiap hari."

Dira tertawa. "Satu menit? Ngapain?"

"Bukan soal hasil, bro. Soal identitas. Kalau lu mau jadi penulis, lakukan hal sekecil mungkin yang bikin lu merasa gue ini penulis. Duduk. Pegang pena. Tulis satu kalimat. Ulangi."

Ada sesuatu dalam kata-kata Bayu yang menusuk Dira lebih dalam daripada semua kata motivasi yang pernah dibacanya.

Bayu melanjutkan, "Masalah kita, Dir, bukan kita males. Tapi kita terlalu pasang ekspektasi gede ke diri sendiri. Kalo gagal sekali, langsung ngerasa kalah. Padahal, lu cuma perlu menang hari ini."

Malam itu, Dira duduk di meja tulisnya. Tidak ada rencana muluk. Tidak ada target seribu kata. Ia hanya menulis satu kalimat di buku catatannya:

"Hari ini aku mencoba lagi."

Ia tersenyum kecil. Rasanya... entah kenapa, lebih ringan.

Hari-hari berikutnya, ia mengulang ritual kecil itu. Duduk. Menulis satu kalimat. Kadang dua. Kadang sepuluh. Tapi ia tetap memaafkan diri sendiri kalau hanya satu. Kebiasaan kecil itu mulai tumbuh seperti benih yang baru saja pecah kulitnya.

Tentu, ada hari-hari buruk. Hari ketika ponsel kembali menggoda. Hari ketika Dira merasa "buat apa sih ini semua". Tapi kini, ia tahu: satu kekalahan kecil bukan akhir segalanya.

Minggu ketiga, ia menemukan dirinya tidak hanya menulis satu kalimat. Ia duduk lebih lama. Tulisan-tulisannya mulai membentuk cerita.

Sore itu, Bayu mengiriminya pesan lagi.

Bayu: "Gimana? Udah jadi penulis?"

Dira mengetik balasan sambil tersenyum:

Dira: "Belum. Tapi gue lagi jadi orang yang selalu nulis tiap hari."

Bayu membalas dengan emoji jempol dan kata-kata pendek:

Bayu: "Itu lebih penting."

Dan Dira tahu, untuk pertama kalinya, ia bergerak ke arah yang benar. Bukan dengan lompatan besar, bukan dengan tekad super manusia, tapi dengan satu langkah kecil. Dan satu langkah lagi besok.

Bagian 2: Menumpuk Kebiasaan

Suatu pagi, Dira terbangun sebelum alarmnya berbunyi. Ia menatap langit-langit kamar sambil merenung. Ia sadar, dirinya sudah punya satu kebiasaan baru: menulis setiap malam. Tapi jika ia ingin memperbaiki hidupnya lebih jauh, ia butuh lebih dari itu.

Bayu pernah bilang: "Kalau mau kuat, tumpuk kebiasaan baru di atas kebiasaan yang udah ada."

Dira mengambil jurnal kecil dan menulis rencana:

Setelah menulis satu kalimat, aku akan merapikan meja kerjaku. Setelah merapikan meja, aku akan membaca satu halaman buku.

Malam itu, setelah menulis kalimatnya, Dira berdiri dan mulai membereskan meja. Awalnya malas. Tapi anehnya, setelah meja rapi, ia merasa pikirannya juga lebih lega.

Lalu ia mengambil novel yang sudah berdebu di sudut rak, membalik satu halaman, lalu satu halaman lagi. Tanpa terasa, lima belas menit berlalu.

Perlahan, rutinitas baru itu membentuk ritme: menulis, merapikan, membaca.

Tapi ujian sesungguhnya datang ketika Dira mendapat tugas lembur di kantor. Pulang malam, lelah, lapar, dan mood anjlok.

Di pintu kamar, ia ragu. "Ah, hari ini nggak usah, besok aja..."

Tangannya nyaris menutup lampu, tapi ia teringat: satu langkah kecil saja. Ia duduk, mencoret satu kalimat di jurnal, lalu merapikan satu tumpukan kertas.

Tidak sempurna. Tapi cukup untuk tetap merasa "aku tetap bergerak".

Dan malam itu, sebelum tidur, Dira berbisik pada dirinya sendiri:

"Aku bukan orang sempurna. Tapi aku orang yang berusaha."

Dan kadang, itu sudah lebih dari cukup untuk menang.

Bagian 3: Identitas Baru

Satu bulan berlalu. Dira membuka jurnal lamanya dan membaca kembali tulisan-tulisannya: kalimat-kalimat sederhana, ide-ide mentah, kadang hanya satu baris yang tampak sepele. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini.

Ia merasa... ini miliknya. Ini dirinya.

Ketika seorang teman bertanya, "Sekarang sibuk apa, Dir?", tanpa ragu Dira menjawab, "Aku lagi nulis novel."

Bukan "aku mau", bukan "aku coba". Tapi "aku sedang".

Identitas baru itu tumbuh bukan dari pengakuan besar, melainkan dari akumulasi tindakan kecil yang diulang setiap hari. Seperti batu yang terkikis air. Pelan, pasti, tanpa suara.

Suatu malam, Dira kembali duduk di meja tulis. Namun kali ini, bukan karena memaksa diri. Tapi karena itu bagian dari siapa dirinya sekarang.

Ia menulis:

"Ini bukan tentang menjadi sempurna. Ini tentang menjadi seseorang yang selalu mencoba."

Dan saat ia menutup bukunya, ia tahu: perubahan nyata bukan terjadi dalam ledakan besar, tapi dalam langkah-langkah kecil, tak terlihat, yang dibangun perlahan dalam sunyi.

Bagian 4: Melawan Diri Sendiri

Dua bulan setelah memulai perjalanannya, Dira mendapati dirinya menghadapi musuh yang lebih berat daripada kemalasan: kejenuhan.

Menulis satu kalimat per hari yang dulunya terasa membanggakan, kini terasa hambar. Ia mulai bertanya, "Apa gunanya? Ini tidak cepat membuahkan hasil."

Sore itu, hujan mengguyur jendela apartemennya. Dira menatap layar kosong di laptop. Tidak ada kata-kata yang mengalir. Tidak ada ide brilian. Hanya kekosongan.

"Mungkin aku nggak cukup berbakat," pikirnya getir.

Namun sebelum menyerah, ia membuka jurnal lamanya. Membalik halaman demi halaman. Ia membaca kalimat-kalimat canggung, tapi juga melihat betapa jauh ia sudah melangkah.

Ia tersadar: musuh terbesarnya bukan ketidakmampuan, melainkan suara dalam dirinya yang berkata, "Kamu nggak cukup baik."

Malam itu, Dira membuat keputusan kecil yang sederhana, tapi penting:

Ia tidak menulis untuk menjadi sempurna. Ia menulis untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak menyerah.

Dengan tangan gemetar, ia menulis satu kalimat:

"Hari ini, aku melawan diriku sendiri."

Dan dalam keheningan kamar kecilnya, Dira tahu, perjuangan terpenting bukan melawan dunia luar, tapi melawan bisikan kecil yang selalu ingin menghentikannya.

Bagian 5: Membangun Lingkungan Pendukung

Dira mulai menyadari bahwa perjuangan melawan dirinya sendiri tidak bisa selalu dilakukan sendirian. Ia butuh lebih dari sekadar niat kuat: ia butuh lingkungan yang mendukung perubahan barunya.

Suatu malam, ia menghapus beberapa aplikasi media sosial dari ponselnya. Bukan karena membenci teknologi, tapi karena ia ingin membuat pilihan-pilihan kecil itu lebih mudah.

Lalu, ia menata ulang kamarnya. Meja tulis dipindahkan ke dekat jendela, supaya cahaya pagi bisa langsung menyambutnya. Di rak buku, ia menyusun novel-novel favoritnya, agar inspirasi selalu berada dalam jangkauan.

Tak hanya itu. Dira juga bergabung dalam komunitas daring kecil tentang menulis harian. Mereka bukan penulis terkenal. Hanya orang-orang biasa yang, seperti dirinya, sedang belajar bertahan satu langkah kecil setiap hari.

Di ruang obrolan komunitas itu, ada aturan sederhana: setiap hari, semua anggota membagikan satu kalimat dari tulisan mereka. Tidak ada komentar sinis. Tidak ada adu siapa lebih hebat. Hanya perayaan kecil atas keberanian melanjutkan.

Saat Dira mengirimkan kalimat pertamanya, ia merasa aneh. Sedikit malu. Tapi ketika komentar hangat mulai berdatangan, ia tersenyum.

"Bagus, Dira! Teruskan!" "Satu langkah lebih dekat ke impianmu."

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Dira merasa: ia tidak sendirian.

Lingkungan barunya tidak mengubah dirinya dalam semalam. Tapi seperti api kecil yang dijaga dengan hati-hati, semangatnya kini lebih stabil, lebih kuat.

Malam itu, Dira menulis:

"Aku bukan hanya melangkah sendirian. Ada cahaya lain di jalan ini."

Dan ketika ia menatap ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dalam hujan, Dira tahu: ia sedang membangun bukan hanya sebuah kebiasaan, tapi sebuah kehidupan baru.

Bagian 6: Memenangkan Hari Ini

Suatu pagi, Dira duduk di meja tulisnya lebih awal dari biasanya. Tidak ada tekanan untuk menulis novel lengkap, tidak ada beban untuk membuat karya besar. Hari ini, ia hanya ingin memenangkan hari ini.

Ia ingat kata-kata Bayu saat mereka bertemu terakhir kali di kafe:

"Kalau lu menang hari ini, Dir, itu cukup. Besok kita ulang lagi."

Dira membuka jurnalnya dan menulis tiga tujuan kecil untuk hari itu:

  1. Menulis minimal satu paragraf.

  2. Merapikan satu bagian meja.

  3. Membaca dua halaman buku inspiratif.

Bukan target besar, tapi cukup untuk membangun kemenangan kecil.

Saat ia menyelesaikan satu paragraf, rasa puas kecil memenuhi dadanya. Ia tersenyum, menuliskan tanda centang di sebelah daftar tujuan.

Merapikan meja hanya memakan waktu tiga menit, tapi membuat ruangnya terasa lebih lapang.

Membaca dua halaman terasa singkat, namun dalam salah satu kutipan buku itu, ia menemukan kalimat yang menusuk:

"Kita tidak membangun masa depan. Kita membangun kebiasaan, dan kebiasaanlah yang membangun masa depan kita."

Hari itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Dira menutup harinya dengan rasa damai. Ia tidak melakukan hal luar biasa. Ia hanya setia pada proses kecil.

Sebelum tidur, ia menulis di jurnal:

"Hari ini aku menang. Besok, aku akan mencoba menang lagi."

Dengan mata berat oleh rasa syukur, Dira tersenyum dalam gelap. Mungkin itulah kunci perubahan sejati: bukan dalam satu kemenangan besar, tapi dalam serangkaian kemenangan kecil yang dikumpulkan, satu hari pada satu waktu.

(TAMAT)