Hari Buruh dan Sekolah Kehidupan yang Kita Warisi

Mari rayakan Hari Buruh dengan keberanian untuk bertanya. Karena masa depan tidak akan berubah jika kita terus menerima warisan masa lalu tanpa bertanya: “Siapa yang diuntungkan dari semua ini?”

OPINI

Undil

5/1/20252 min read

Setiap 1 Mei, dunia riuh memperingati Hari Buruh. Spanduk tuntutan dinaikkan, suara peluit bersahut-sahutan, dan pidato-pidato penuh semangat memenuhi jalanan. Tapi, mari kita mundur sejenak. Bertanya: mengapa buruh perlu hari peringatan? Mengapa kelas pekerja harus berjuang hanya untuk hak yang mestinya asasi?

Mari kita buka lembar sejarah.

Sistem buruh bukanlah ciptaan alam. Ia lahir dari rahim Revolusi Industri di abad ke-18. Ketika mesin mulai menggantikan tangan manusia, kelas pengusaha membutuhkan manusia-manusia baru: bukan petani merdeka, bukan pengrajin berdikari, tapi pekerja—yang waktunya dapat dibeli, tenaganya dihitung, dan hidupnya dikunci oleh jam kerja. Inilah awal mula manusia menjadi buruh.

Tapi buruh tidak langsung “terampil”. Maka sistem sekolah pun dibentuk. Bukan untuk mencerdaskan demi kemerdekaan berpikir, tapi agar generasi muda terbiasa duduk diam, mengikuti perintah, dan bekerja sesuai arahan. Sekolah menjadi lini produksi manusia-manusia patuh—bukan pemikir bebas. Sistem ini efektif: anak-anak belajar disiplin waktu, hafalan, dan kompetisi, lalu diarahkan ke jalur pekerjaan sesuai kebutuhan pasar.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Di negeri ini, pendidikan masih sering digembar-gemborkan sebagai “tangga mobilitas”. Katanya, jika kau rajin belajar, dapat gelar tinggi, maka nasibmu akan naik kelas. Namun kenyataannya, berapa banyak sarjana yang menganggur? Berapa banyak anak muda yang terjebak dalam utang pendidikan hanya untuk mengejar mimpi yang dibentuk iklan dan sistem nilai pasar?

Di satu sisi, kita diajari bahwa sekolah adalah kunci sukses. Di sisi lain, kita tak pernah diberi kunci untuk memahami sistem. Kita diajak lomba, tapi tak pernah diberi tahu siapa yang membuat aturan permainannya.

Hari ini, buruh bukan hanya mereka yang memakai helm proyek atau seragam pabrik. Buruh adalah kita semua—yang menjual waktu, tenaga, dan pikiran demi penghasilan. Dari guru honorer hingga pengemudi ojek daring, dari jurnalis kontrak sampai staf magang tak dibayar—semua bekerja dalam sistem yang mengutamakan produktivitas, bukan martabat.

Kita hidup di zaman ketika bekerja keras tak lagi menjamin hidup layak. Maka kita perlu lebih dari sekadar peringatan: kita perlu kesadaran. Bahwa sistem ini bisa dan harus dikritisi. Bahwa pendidikan mestinya membebaskan, bukan membentuk budak-budak intelektual. Bahwa pekerjaan semestinya memberi martabat, bukan hanya angka di slip gaji.

Hari Buruh bukan sekadar seremoni. Ia adalah panggilan untuk merebut kembali makna kerja dan makna hidup. Untuk mempertanyakan warisan sistem yang kita terima begitu saja. Untuk membayangkan dunia yang lebih adil, lebih manusiawi.

Karena yang sejati dari manusia bukanlah status pekerjaannya, tapi kemampuannya untuk berpikir dan bermimpi akan dunia yang lebih baik.[]