Di Antara Puing-Puing Demokrasi yang Kita Mimpikan
Indonesia memerlukan demokrasi yang lebih dari sekadar kontestasi kekuasaan — sebuah demokrasi yang bertumbuh dari tanggung jawab, akal sehat, dan cinta akan kebenaran
OPINI
gd
4/29/20252 min read


Di tanah yang dahulu dijanjikan untuk kemerdekaan, di antara sungai-sungai sejarah dan bayang-bayang perjuangan, kini kita berdiri — memandang demokrasi yang terasa asing, nyaris tak kita kenali.
Padahal, jauh sebelum kita lahir, jauh sebelum republik ini dikisahkan, manusia telah berbincang tentang cita-cita luhur bernama demokrasi. Di Athena yang berdebu, Aristoteles mengajarkan bahwa demokrasi bukan sekadar suara mayoritas, melainkan harmoni bagi kebaikan bersama. Ia memperingatkan kita: bila hukum diabaikan dan hawa nafsu massa yang memimpin, maka demokrasi akan berubah menjadi tirani yang berwajah ramah.
Sementara itu, Plato, dengan mata tajamnya yang mencintai kebenaran, menulis tentang bahaya ketika rakyat memilih pemimpin seperti memilih hiburan — bukan karena kebijaksanaan, melainkan karena janji-janji yang memabukkan. Demokrasi, katanya, bisa menjadi taman liar di mana kebebasan tumbuh tanpa arah, sebelum akhirnya layu dan mati dalam kekacauan.
Dan Socrates, sang penggali kebenaran, menantang kita untuk bertanya: bukankah memilih pemimpin memerlukan ilmu dan kebajikan, sama seperti kita mempercayakan kapal kita hanya kepada seorang nahkoda yang mengerti laut?
Ah, betapa dalam renungan mereka, betapa jauhnya perjalanan yang sudah ditempuh — dan betapa kita kini mulai melupakan arah.
Hari ini, demokrasi di negeri ini terasa seperti kapal yang kehilangan bintang penuntunnya. Pemilu diselenggarakan, bendera dikibarkan, suara-suara menggema — namun apakah jiwa demokrasi itu sendiri masih hidup?
Kita menyaksikan politik menjadi panggung sandiwara, di mana uang dan popularitas menjadi pemeran utama. Kita melihat polarisasi tumbuh seperti jamur di musim hujan, merobek persaudaraan kita menjadi pecahan-pecahan kecil. Kita mendengar janji-janji berubah menjadi gema kosong, sepi dari tanggung jawab sejati.
Lalu kita bertanya dalam sunyi: inikah demokrasi yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa? Inikah warisan yang kita jaga untuk anak cucu kita?
Demokrasi, dalam makna terdalamnya, bukanlah sekadar ritual memilih. Demokrasi adalah kepercayaan: bahwa manusia mampu menggunakan akal budinya, menimbang kebaikan, memilih jalan yang benar walaupun sukar. Demokrasi adalah penghormatan terhadap martabat manusia — terhadap setiap suara yang jujur, terhadap setiap pikiran yang tulus mencari kebenaran.
Tanpa akal budi, demokrasi menjadi pasar gaduh. Tanpa etika, demokrasi menjadi jalan licin menuju jurang. Tanpa pendidikan hati dan pikiran, demokrasi menjadi permainan kekuasaan yang menggadaikan masa depan.
Plato benar: kebenaran jarang memenangkan pemilihan umum. Tetapi bukan berarti kita harus menyerah. Seperti Socrates yang memilih mati daripada mengkhianati prinsipnya, kita pun dipanggil untuk menjaga jiwa demokrasi — meski kadang kita merasa sendirian, meski kadang suara kebenaran tercekik dalam riuh rendah kebohongan.
Indonesia adalah tanah harapan. Tapi harapan itu tidak akan hidup hanya dengan berteriak-teriak tentang "demokrasi" sambil lupa akan maknanya. Harapan itu tumbuh dengan berpikir jernih, dengan memilih bijaksana, dengan berani mengutamakan kebaikan bersama meski tak selalu populer.
Demokrasi adalah ladang yang harus terus kita rawat, bukan hanya pada musim pemilu, tetapi setiap hari, dalam pikiran kita, dalam tindakan kita, dalam percakapan kita. Demokrasi adalah jalan sunyi, jalan penuh luka, jalan yang menuntut kita mencintai kebenaran lebih daripada kemenangan.
Mungkin kita sudah jauh tersesat. Mungkin arah itu samar di tengah kabut zaman. Tapi bukan berarti kita tidak bisa kembali.
Mari kita ingat kembali, seperti yang diingatkan oleh para pemikir besar itu: bahwa jalan yang benar bukanlah jalan yang mudah, tetapi jalan yang membebaskan jiwa. Bahwa demokrasi sejati bukanlah tentang berkuasa, tetapi tentang melayani.
Dan bahwa tugas kita — ya, tugas kita semua — adalah menjaga agar demokrasi tetap hidup, bukan sekadar sebagai kata dalam konstitusi, melainkan sebagai napas yang menghidupi bangsa ini.
Karena bangsa yang kehilangan jiwanya, akan kehilangan segalanya.
Inspiration
A haven for stories, art, and creativity.
© 2025. Undil - All rights reserved.