80 Tahun, apakah kita sudah Merdeka?

Opini dan refleksi

OPINI

Undil

8/18/20253 min read

Setiap bulan Agustus, Indonesia ramai dengan bendera, perlombaan, dan pesta rakyat. Anak-anak tertawa dalam lomba balap karung, ibu-ibu berteriak memberi semangat tarik tambang, dan jalan-jalan desa dihiasi umbul-umbul merah putih. Semua tampak meriah. Namun, delapan puluh tahun setelah proklamasi, ada pertanyaan yang seharusnya tak pernah kita lupakan: apakah arti semua ini? Apakah kita benar-benar telah merdeka?

Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik. Ia lebih dalam—menyangkut martabat, keadilan, dan keberdayaan rakyat. Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kata-kata itu terasa benar hari ini, saat kita melihat jutaan rakyat masih terjebak dalam kemiskinan, pendidikan yang timpang, korupsi yang tak kunjung usai, serta ketidakadilan yang merayap di banyak sendi kehidupan.

Jika kemerdekaan berarti kesejahteraan, maka mengapa di negeri yang kaya akan hutan, laut, dan tambang, masih banyak anak bangsa yang kesulitan makan, sekolah, bahkan sekadar mendapat air bersih? Jika merdeka berarti kedaulatan, mengapa keputusan-keputusan penting bangsa sering kali tunduk pada logika pasar global dan kepentingan asing? Apakah kita merdeka ketika rakyat di pedalaman tak pernah tersentuh pembangunan, sementara segelintir orang menguasai tanah dan sumber daya.

Sebuah Cermin dari Masa Lalu

Kita bisa belajar dari cerita yang diwariskan berabad-abad: kisah Mahabharata. Dalam epos itu, Pandawa dan Kurawa sama-sama anak bangsawan, sama-sama keturunan kerajaan, tetapi nasib mereka berbeda. Pandawa hidup miskin, terusir, dan diperlakukan tidak adil. Sementara Kurawa hidup mewah dengan kekuasaan berlimpah. Namun, ketika perang besar Bharatayudha pecah, Pandawa tidak berjuang sekadar untuk kekuasaan, melainkan untuk kebenaran dan keadilan

Arjuna sempat ragu di medan Kurukshetra. Ia bertanya pada Kresna, “Untuk apa aku berperang, jika yang kulawan adalah saudara-saudaraku sendiri?” Kresna menjawab dengan tegas, “Arjuna, kau tidak berperang demi diri sendiri. Kau berperang demi tegaknya dharma, demi membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan.”

Bukankah itu mirip dengan perjuangan bangsa kita? Indonesia tidak lahir dari keinginan untuk sekadar mengusir Belanda atau Jepang. Ia lahir dari tekad untuk menegakkan kebenaran kolektif: rakyat yang diperas harus dibebaskan, bumi yang dieksploitasi harus kembali untuk anak negeri, dan martabat manusia harus dijunjung tinggi. Para pendiri bangsa tidak pernah membayangkan kemerdekaan hanya dirayakan lewat lomba makan kerupuk. Mereka membayangkan sebuah bangsa yang berdiri dengan tegak, di mana rakyatnya tidak lagi diperlakukan sebagai budak, melainkan sebagai manusia merdeka yang bermartabat.

Merdeka dari Apa

Filsafat mengajarkan, merdeka adalah kemampuan menentukan arah hidup tanpa bergantung pada penindasan. Seorang bijak Yunani pernah berkata, “Orang yang paling merdeka adalah yang paling mampu menguasai dirinya sendiri.” Maka pertanyaannya: sudahkah kita merdeka dari keserakahan, kebodohan, dan ketidakpedulian kita sendiri? Ataukah kita justru terjajah oleh nafsu konsumsi, politik transaksional, dan mentalitas ikut-ikutan tanpa refleksi?

Jika Pandawa dalam kisah Mahabharata berperang untuk menegakkan dharma, maka tantangan kita hari ini adalah menegakkan dharma kebangsaan: melawan kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan apatisme. Kemerdekaan sejati bukan soal siapa yang menguasai istana, tetapi siapa yang menjaga nurani bangsa.

Perayaan sebagai Refleksi

Perayaan kemerdekaan sejatinya adalah momen kontemplasi. Sebuah ruang untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, lalu bertanya ke dalam hati: apa arti 80 tahun perjalanan ini? Apakah kita masih setia pada cita-cita pendiri bangsa, atau sekadar larut dalam simbol-simbol kosong tanpa jiwa? Balap karung boleh ada, tapi seharusnya ia hanya pengantar, bukan inti. Intinya adalah membangun kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan belum selesai.

Mungkin, sudah saatnya kita melihat perayaan kemerdekaan tidak hanya sebagai pesta tahunan, melainkan sebagai ritual pengingat: bahwa tugas kita jauh lebih berat daripada sekadar mengusir penjajah. Tugas kita adalah membebaskan diri dari segala bentuk penindasan baru—baik oleh sistem ekonomi yang timpang, oleh politik yang kotor, maupun oleh diri kita sendiri yang kerap apatis.

Sebuah Pertanyaan untuk Kita Semua

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah usia yang panjang untuk sebuah bangsa. Namun, dalam ukuran sejarah peradaban, ini baru seumur jagung. Kita masih berproses, masih belajar, masih mencari arah. Maka, jangan biarkan kemerdekaan hanya jadi nostalgia masa lalu atau sekadar pesta lomba. Jadikan ia sebagai panggilan untuk terus melanjutkan perjuangan.

Jika kemerdekaan adalah sebuah perjalanan, maka kita baru memulainya. Seremonial 17 Agustus seharusnya bukan sekadar seremonial, melainkan sebuah cermin yang membuat kita berani bertanya:

sudahkah kita merdeka? Ataukah kita hanya sekadar bangsa yang gemar berpesta tanpa pernah benar-benar bebas?

Dirgahayu Indonesia 🫡 ke- 80 Tahun.